Orde Instabilitas
Runtuh dan mangkatnya sang tiran, ternyata tak mebawa perdamaian di tanah Jawa. Sebaliknya, tanda-tanda pecahnya perang saudara kian nyata. Putera mahkota yang kini bergelar Amangkurat II, menghadapi musuh yang mengepungnya dari segala penjuru. Pangeran Puger – yang menurut sumber-sumber VOC disebut sebagai seorang pemadat – yang berhasil merebut kembali keraton Mataram di Plered, mengangkat diri menjadi raja dengan gelar Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama.
Pasukan Trunajaya yang bercokol di Kediri masih menguasai kawasan bang wetan (pesisir timur). Lebih dari itu, Amangkurat II yang bertahta tanpa istana (ia berpindah-pindah mengikuti gerak pasukan VOC), mewarisi utang tak alang kepalang besarnya. Untuk membayar utang itu, akhirnya ia menggadaikan kota-kota pelabuhan di pesisir utara kepada VOC. Bahkan alam pun tak bersahabat dengannya: wabah penyakit terus merajarela, hujan tak kunjung tiba, dan harga-harga bahan pokok alias sembako terus saja melangit. Rakyat menafsirkan sasmita alam itu sebagai pertanda bahwa rezim kerajaan baru ini juga tak bakal panjang usia.
Pada tanggal 26 Desember 1679, seorang perwira VOC keturunan Ambon bernama Kapten Jonker – bodyguard pribadi Amangkurat II – berhasil memaksa Trunajaya menyerah di sekitar Gunung Anjasmara. “Ia mengenakan jubah satin hitam, bersorban hitam dengan cincin emas di sekitarnya dan clurit hitam panjang di tangannya,” tulis sebuah laporan VOC. Jonker menyerahkan Trunajaya kepada Couper, yang lalu membawanya ke Amangkurat II yang berada di Payak. Pada 2 Januari 1680, Amangkurat II menusuk mati mantan sekutunya itu dengan keris Kyai Balabar di hadapan para punggawa istana.
Para punggawa lantas diperintahkan untuk mencincang mayat pangeran Madura itu, serta memakan hatinya. Kepalanya juga dipenggal dan diletakkan di bawah tahta sang raja.
Sesudah menumpas pemberontakan Trunajaya, Amangkurat II memindah istana Mataram yang sudah ambruk itu ke Kartasura. Tapi kedaulatan tanah Jawa sudah tergadai dan tak pernah pulih lagi, sampai beratus tahun kemudian. (*)
Sumber: TAJUK, No. 8/Th I – 11 Juni 1998