Intrik di Istana
Intrik di Keraton Plered kian menjadi-jadi. Bahkan meningkat pada upaya perebutan kekuasaan. Putera mahkota sendiri termasuk barisan mereka yang kecewa. Dicomblangi oleh Raden Kajoran, ia menggalang konspirasi dengan Trunajaya sekitar tahun 1670. Mereka sepakat: Trunajaya akan berontak dengan restu dan atas nama putera mahkota. Sedangkan sang putera mahkota – kelak naik tahta dengan gelar Amangkurat II (1677-1703) – akan tetap berada di istana, menyembunyikan perannya dalam pemberontakan itu.
Kalangan VOC tak begitu menghargai putera mahkota ini. Pada 1670, mereka mendengar rumor bahwa si pangeran tak begitu disukai ayahnya. Barangkali karena ia dicurigai telah menggalang konspirasi menentang raja. Atau, karena ia kerap ‘menghabiskan malam-malamnya dengan mencabuli para selir dan puteri-puteri istana’.
Hubungan antara Amangkurat I dan putera mahkotanya ini memang tidak akur. Salah satu penyebabnya adalah dibunuhnya Pangeran Pekik, penguasa Surabaya dan kakek si putera mahkota, atas perintah Amangkurat I. Penyebab lainnya: persaingan soal perempuan serta nafsu dan ambisi si putera mahkota yang tampaknya mewarisi bakat bapaknya. Di tengah suasana keraton yang penuh intrik itu, pangeran muda ini juga bersengketa dengan sejumlah saudaranya. Salah satunya adalah Pangeran Puger, yang kelak menggantikannya dengan gelar Pakubuwana I (1704-1719).
Trunajaya berangkat ke Madura, mengumpulkan para pengikutnya dan tak lama kemudian menguasai pulau itu. Pada 1675, ia mengikat aliansi dengan pemimpin Makasar Karaeng Galesong, yang ketika itu beroperasi di Jawa Timur. Para prajurit Makasar ini lari ke Jawa dari tanah kelahiran mereka seusai penaklukan Hasanudin, untuk mencari rumah dan daerah jarahan baru. Pada tahun itu pula, Trunajaya dengan Karaeng Galesong mulai menguasai kota-kota pelabuhan di Jawa Timur. Pertempuran di pesisir Jawa ini, akhirnya, menarik perhatian VOC dan mengundang serangan balasan dari keraton Mataram.