Penulis: Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd dan Sapta Anugrah Ginting, S.Pd,
Seperti halnya di Jawa yang merasakan kehadiran agama baru di masa melemahnya Majapahit. Madura turut mengalami hal yang sama. Agama “baru” yang dimaksud adalah Islam, sebuah kepercayaan yang membawa misi perdamaian semesta yang turun/muncul dari daratan Arab. Sebagai ajaran tak berkasta, Islam secara esensial adalah identitas religius baru yang hadir untuk seluruh kalangan dan bagi segala bangsa. Otoritas Hindu-Buddha secara faktual memiliki kekuatan de jure dalam menguasai Madura yang menjadi bawahan Majapahit maka penerimaan Islam oleh orang Madura secara masif merupakan hal yang begitu mengejutkan
Pola perkembangan itu sangat tepat menjadi alasan untuk fase penyebaran Islam di pulau ini karena tidak ada catatan pasti tentang tokoh tunggal pertama pendakwah Islam ke Madura. Sebaliknya, justru dari catatan-catatan ingatan masyarakat (kolektif) setempat, didapatkan lebih dari satu tokoh yang dipercaya sebagai penyebar Islam awal dalam kurun waktu yang saling berdekatan.
Sebutan “penyebar Islam” tentunya sangat luas, bisa berarti pertama yang mendakwahkan Islam (biasanya dari Timur Tengah) atau seseorang yang kemudian memeluk Islam dan melanjutkan dakwah agama ini. Definisi tentang seorang penyebar Islam yang sedemikian tadi agaknya terlalu sempit karena sekadar mencakup individu-individu tertentu yang beraktivitas sebagai pendakwah.
Maka, sebagai agama yang egaliter, Islam mampu diperkenalkan oleh hampir seluruh lapisan dan jenis penganutnya. Secara awam, kita melihat bagaimana ritual Islam seperti shalat yang ada kalanya bisa dilakukan oleh siapa pun secara personal tanpa harus melalui formalitas kaum agamawan.
Pendapat Dr. Abdurrahman yang dikutip oleh Abdur Rozaki (2004:45), meyakini bahwa sebelum populernya pembawa Islam dari tanah Jawa, sudah banyak pedagang pedagang Islam, misalnya dari Gujarat yang singgah di pelabuhan pantai Madura, terutama di pelabuhan Kalianget (Sumenep) yang mungkin saja telah memperkenalkan agama ini. Bahkan, menurutnya terdapat interaksi dan pengaruh kebudayaan-kepercayaan antara penduduk lokal setempat dengan para pendatang saudagar itu
Seperti halnya di zaman Hindu-Buddha, tanah Madura tidak hanya mendapat pengaruh kepercayaan karena ikatan historis-kulturalnya dengan Jawa . Secara umum, Islam menyebar ke Madura melalui dua arah, yakni barat dan timur, corak penyebarannya pun ditujukan atau setidaknya selalu berhubungan dengan kaum aristokrat tradisional Madura.
Berikut adalah beberapa kisah para tokoh penyebar Islam ke daerah-daerah Pulau Madura.
Lembu Peteng Kametowa Madegan
Nama Lembu Peteng adalah sosok figur yang sulit untuk diidentifikasi bila tidak dilihat secara esensi nama ini sendiri, membandingkannya dalam berbagai silsilah, mengaitkannya dengan tokoh lain, serta menempatkannya dalam posisi zaman yang tepat. Secara terminologi Jawa, “Lembu Peteng” adalah “anak gelap” raja di suatu tempat dan ini menjadi salah satu sumber variabel garis-garis antar-raja (Nadjih 1995: 157).
Anak-anak bangsawan yang lahir dari suatu hubungan gelap lazimnya diberi nama Lembu Peteng atau Mahesa Wulung, yang masing-masing dalam bahasa Jawa bermakna “gelap” atau “hitam ada pula yang memplesetkan istilah Lembu Peteng sebagai penghalusan untuk “kerbau (Jawa: kebo) yaitu anak hasil dari kumpul kebo. Apa pun maknanya,
Lembu Peteng yang terkenal sebagai anak raja Majapahit terakhir pastilah tetap seorang bangsawan dari garis ayahnya dan kemungkinan memiliki ibu dari kalangan rakyat biasa. Raja Wikramawardhana kerap dianggap sebagai ayah dari Lembu Peteng seperti dalam pendapat Sulaiman Sadik (2006: 54), padahal Lembu Peteng merupakan anak dari Raja Majapahit terakhir, yakni Bhre Kertabhumi (memerintah 1468-1478) yang populer dengan nama gelar Brawijaya V.
Jarak antara Wikramawardhana dan Bhre Kertabhumi berselang (dihitung dari sejak awal masa pemerintahan masing-masing) kurang lebih 90 tahun. Mengapa kemudian Lembu Peteng disebut anak dari Wikramawardhana? Jawaban paling tepat adalah karena Perang Paregreg yang memperlemah Majapahit telah membuat sosok Wikramawardhana seolah menjadi “raja terakhir” karena di tangannya kejayaan Majapahit surut. Secara historis, Kerajaan Majapahit runtuh pada 1527 serta secara pasti dominasi Islam di bawah Demak menggantikan otoritasnya.
Sebagai tambahan, penyebab identifikasi Lembu Peteng sebagai anak dari Wikramawardhana ialah karena sosoknya yang tidak bisa dilepaskan dari tokoh lain yang memiliki reputasi besar di masa akhir Majapahit, tokoh itu bernama Arya Damar. Sartono Kartodirdjo (1973: 4) menjelaskan bahwa kelak keturunan Brawijaya yakni Lembu Peteng (anak) dan Menak Senoyo (cucu) mengunjungi Madura. Menak Senoyo-akan dijelaskan pada bagian selanjutnya-adalah anak/putra dari Arya Damar, dengan demikian Lembu Peteng dan Arya Damar adalah saudara beda ibu.
Kerancuan yang muncul ialah tatkala sumber China menyebut Arya Damar sebagai anak Yang Wi Si Sa atau dalam versi Jawa ialah ‘Hyang Wisesa’ yakni nama lain dari Wikramawardhana seperti yang dituliskan oleh Slamet Muljana (2007: 105). Penamaan gelar yang rumit di Majapahit saat terdapat seorang tokoh yang terkadang memiliki nama asli dan masih ditambah lagi adanya kesamaan dalam nama dua orang tokoh, cukup mempersulit dalam penggalian kebenaran tentang seseorang dalam sejarah.
Dalam kitab Pararaton, selain nama “Hyang Wisesa” juga disebutkan nama “Hyang Purwawisesa”, keduanya sering-sering dikaitkan dengan lebih dari satu sosok raja. Maka, dalam menetapkan tokoh Lembu Peteng harus dilihat dalam konteks kesejarahan latar politik yang berlangsung.
Dalam sejarah Madura, Lembu Peteng dikisahkan datang ke Madegan (Pamadekan) Sampang sebagai seorang Kametowa atau ‘Raja Muda’ yang mewakili Majapahit. Adapun Madegan sendiri dianggap lebih muda dibandingkan dengan Kerajaan Sumenep yang terlebih dahulu kesohor. Madegan juga penghasil komoditas garam meskipun tetap saja Sumenep yang saat itu dikenal sebagai penghasil garam terbesar (di Madura) karena lebih awal menjadi vassal Majapahit (Gunawan & Kuncoro, 2004). Kedatangan Lembu Peteng tampak seperti untuk kembali memperkuat pengaruh Majapahit yang melemah.
Kehilangan banyak tanah jajahan yang melepaskan diri, belum lagi adanya pergolakan-pergolakan internal telah membuat Majapahit tentu merasa penting untuk tidak lagi kehilangan daerah-daerah yang masih berada dalam kekuasaannya, salah satunya tentu Pulau Madura. Dalam silsilah raja-raja Jawa sejak masa Brawijaya V, disebutkan bahwa penguasa Majapahit ini mempunyai banyak selir yang masing-masing memiliki putra, adapun putranya berjumlah 117 orang. Selir-selir Brawijaya yang terkenal setidaknya ada dua orang yaitu Hendang Sasmito Wati, konon ia adalah jelmaan dari Raksesi (raksasa/buto wanita) dan darinya diperoleh anak bernama Arya Damar.
Sedangkan selir lainnya adalah Dvaravati atau yang dikenal dengan sebutan “Putri China” melahirkan Lembu Peteng (Maarif, 2015: 85). Penyebutan Dvaravati/ Dwarawti sebagai “Putri China” tidaklah tepat, karena sebutan ini (Putri China) merujuk pada nama selir Brawiaya V lainnya. Maka dalam Ensiklopedi Raja Raja Tanah Jawa karangan Ki Sabdacarakatama (2010: 13), Dvaravati/Dwarawati diidentifikasi sebagai Ratu Andarawati yaitu putri asli Cempa (Campa) Tanah Hindu Barat yang diperistri Brawijaya V. Raden Jaka Peteng, nama dari anak BrawijayaV yang disebutkan sebelumnya (Lembu Peteng) sebagai adipati (Kametowa) Madura adalah hasil pernikahan Brawijaya dengan Putri Campa. Lembu Peteng (Jaka Peteng) jelas berbeda dengan tokoh Raden Bondan Kejawan (tokoh lainnya) yang bergelar “Raden Lembupeteng”.
Tulisan bersambung:
Response (1)