Mengenai pengangkatan Kametowa di Madura tersebut yang menjadikan Madegan sebagai sebuah vassal Majapahit kemungkinan besar terjadi setelah wafatnya Joko Tole yang berkuasa di Sumenep. Lembu Peteng diperkirakan memerintah bersamaan dengan masa kekuasaan Arya Wigananda di Sumenep. Madegan yang berada di bawah kekuasaannya adalah penghasil garam yang cukup terkenal, adapun perekonomian yang dimiliki wilayah itu tidak menjadi fokus utama yang dipermasalahkan selama pemerintahan Lembu Peteng. Majapahit sedang mengalami kemunduran, tugas utama Lembu Peteng yang diangkat ayahnya untuk memerintah Madura kemudian mengalami “pengalihan isu” yang ternyata mengganggu benak Lembu Peteng sebagai seorang Kametowa.
Tatkala Lembu Peteng memerintah, ia menyaksikan bertambahnya pemeluk Islam yang disebarkan oleh Sunan Ampel. Kametowa Madegan merasa geram (Madura: ghaghiranna, kata ini kadang bisa dipakai unruk menyatakan rasa ‘gemas’), karena menurutnya para pembesar Majapahit tidak mampu mencegah masuknya Islam yang terus mendesak pemeluk Hindu-Buddha. Lembu Peteng dengan demikian kemarahannya, ia sampai menyalahkan Sunan Ampel yang dianggap telah “menipu” orang Majapahit agar memeluk Islam. Lalu ia mengirimkan seorang suruhan untuk memata matai (tepatnya ialah ‘mencari’) “kelakuan buruk” Sunan Ampel. Jika telah mendapat bukti atas kelakuan buruk itu, orang suruhan tersebut harus segera menyebarkannya ke seluruh rakyat agar mereka menyadari betapa buruknya sang sunan dan ajaran yang ia bawa.
Orang suruhan yang menjadi mata-mata ke Ampel itu akhirnya kembali ke Madegan. Bukan membawa berita yang diminta oleh Lembu Peteng, ia malah menyampaikan bahwa Sunan Ampel adalah orang yang baik, ia tidak mempunyai sifat sifat jelek apalagi kelakuan buruk, Sunan Ampel tidak membodohi orang-orang untuk masuk ke dalam agama Islam. Mata-mata Lembu Peteng menutup laporannya dengan memberitakan bahwa dirinya telah memeluk Islam.
Lembu Peteng sedemikian bertambah murkanya mendengar ucapan orang suruhan itu. Ia bersiap untuk berangkat sendiri ke Ampel. Ia menitipkan segala urusan sebagai Kametowa Madegan ke tangan anaknya sendiri, Arya Menger. Sebagai putra sulung, Arya Menger mendapat kewenangan sekaligus kewajiban dalam mewakili ayahnya yang berkuasa dalam bidang pemerintahan. Pelimpahan kewenangan Kametowa kepada anaknya mempunyai alasan khusus, Lembu Peteng ke Ampel untuk membunuh sang sunan. Kisah Lembu Peteng ketika tiba di Ampel untuk menjalankan niatannya adalah sebagai berikut:
“…Singkatnya, sekarang Lembu Peteng sudah sampai di Ampel. Ketika itu Sunan Ampel sedang mengajar para santrinya di tempat terbuka. Agar tidak mencolok, Lembu Peteng ikut duduk di paling belakang barisan santri. Ia (berpura-pura- Pen) ikut mendengarkan pengajian seperti santri-santri lainnya. Berucaplah Sunan Ampel:
“Seluruh orang Islam itu bersaudara,… tidak terkecuali Raja, Arya, Raden, orang kaya maupun miskin… Maka dari itu setiap kali orang Islam bertemu dengan saudaranya itu harus saling mendoakan keselamatan dengan berucap, Assalamualaikum’, yang artinya, “Semoga engkau diberikan keselamatan,” dan orang yang mendapatkan salam itu harus menjawab, ‘Waalaikum salam’, yang artinya, “Semoga engkau juga mendapat keselamatan,” itulah orang Islam. Saat ini, ada seorang tamu bernama Lembu Peteng, ia tidak memberikan salam seperti itu, penyebabnya adalah karena dia bukan orang Islam, bukan saudara (seagama-Pen)-ku dan kalian semua. Lembu Peteng tiba di sini untuk sebuah keperluan, yakni untuk membunuhku….”
Santri-santri Sunan Ampel tercengang dan waspada. Mereka segera menghunus senjatanya masing masing. Mereka mencari-cari seorang “tamu” yang ingin membunuh sunannya itu. mendengar ucapan Sunan Ampel, Lembu Peteng merasa kaget karena dirinya dan Sunan Ampel belum pernah saling mengenal secara pribadi apalagi ia menyembunyikan maksud (niat jahat) dalam kedatangannya dari siapa pun. “Bagaimana Sunan Ampel bisa mengetahui maksud kedatanganku?” gumam Lembu Peteng dalam hatinya. Sunan Ampel kembali berkata, “Jangan lakukan kekerasan, sarungkan kembali senjata kalian semua! Bagaimanapun Lembu Peteng adalah tamuku, orang Islam wajib menghormati tamunya. Cepat lakukanlah apa yang kamu inginkan, mendekatlah jika ingin membunuhku.” Setelah Sunan Ampel berkata sedemikian, Lembu Peteng bangkit dengan gontai dari duduknya. Ia kemudian menghaturkan sembah kepada Sunan seraya berucap:
“Wahai gusti Sunan, apa yang engkau ucapkan barusan seluruhnya benar, hamba tidak beda dari seorang buta dan tuli, tidak tahu apa yang ada di depan, di belakang, serta tidak juga mendengar ucapan yang baik. Hamba bersedia menerima hukuman yang akan ditimpakan pada hamba, bahkan jika perlu hamba dibunuh. Namun, apabila masih ada rasa belas kasih dari engkau Yang Mulia, hamba kini ingin menjadi santri di tanah Ampel ini, hamba tidak ingin lagi kembali kepada anak dan istri hamba sebelum mumpuni dalam ilmu agama Islam. Sekarang hamba memohon tuntunan Yang Mulia untuk bersyahadat…” (Sadik, 2006: 55-56)
Lembu Peteng, seorang Kametowa pertama di Madegan wafat di Ampel. Ia tidak kembali ke Madura, ia juga tidak sempat mengislamkan putra-putranya secara langsung. Ia meninggalkan tiga orang anak yakni Arya Menger, Arya Mengo, dan Retno Dewi. Arya Menger menggantikan posisi ayahnya yang berkuasa di Madegan sebagai seorang Kametowa. Arya Menger juga mempunyai tiga orang putra yakni Arya Langgar sebagai yang tertua, anak keduanya bernama Arya Panenga, dan yang bungsu bernama Arya Pratikel.
Arya Langgar tidak diketahui nama aslinya secara pasti, tetapi karena ia telah memeluk Islam serta mendirikan sebuah musala (Madura: langghar) maka ia bergelar Arya “Langgar”. Arya Panenga masih beragama Buddha (kemungkinan beraliran Tantrayana) seperti Arya Menger, ia tinggal di Sampang dan bergelar Raden Palang Jiwo. Arya Pratikel juga masih beragama Buddha dan menetap di Pulau Mandangel, salah seorang putrinya yang terkenal bernama Nyai Ageng Budho. Putra Lembu Peteng yang bernama Arya Mengo membangun tempat tinggal baru di timur laut Madengan yang kemudian waktu disebut sebagai Pamelingan, sedangkan putrinya yang bernama Retno Dewi bersuamikan putra Sunan Giri yakni Maulana Agung-tampaknya Retno Dewi memeluk Islam dari pernikahannya bukan dari ayahnya-atau dipanggil Sunan Dhalem.
Dari pernikahannya itu lahirlah Adipati Omben (tempat yang erat kaitannya dengan legenda Joko Tole) yang berkedudukan di Kampung Rioh Desa Rapa’ Lao’, itulah mengapa Adipati Omben digelari sebagai “Buyut Rioh”. Dari perkembangan awal ini, Islam di Madura tidak lepas dengan penyebaran Islam dari Sunan Ampel maupun Sunan Giri (melalui pernikahan anaknya dengan putri Lembu Peteng). Ternyata selanjutnya, bukan hanya kaum ulama saja yang berperan dalam langkah Islamisasi awal yang mana kaum bangsawan adalah pihak penerima pengaruh penyebaran kepercayaan Islam. Namun, tidak lama dari masa itu datanglah seorang bangsawan dari tanah yang jauh, seorang tokoh keturunan Majapahit yang tiba dari tanah Sumatera.
_____________________________________
Tulisan ini dinukil dari buku “Sejarah Tanah Orang Madura”, Penulis Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd dan Sapta Anugrah Ginting, S.Pd, Penerbit Leutika, Januari 2018, halaman 97 – 96
_______
Tulisan bersambung:
Response (1)