Sandaran warga komunitas, terutama lapisan bawah dan paling bawah yang merupakan mayoritas masyarakat, merupakan dasar piramida tatanan masyarakat. Namun usaha memberdayakan lapisan dasar piramida masyarakat, rasanya akan mengalami persoalan bila mengabaikan unsur-unsur seni tradisional yang sangat beragam. Karena pada seni tradisional terdapat unsur komunikasi, mobilisasi, partisipasi dan kontrol, karena seni tradisional berhubungan langsung dengan kemungkinan-kemungkinan untuk merebut kembali hak tuan atas nasib sendiri dan daerah sebagai suatu ruang lingkup kehidupan bersama.
Yang dipertanyakan sekarang, seberapa jauh apresiasi masyarakat sebagai pendukung kebudayaan lokal?. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, dalam memahami dan mengapresiasi kebudayaan lokal, dari kalangan generasi pendahulu masih mengimpikan masa keemasan masa lalu. Sementara generasi 80-an sampai sekarang, mulai berkurang dan bahkan nyaris tidak mempunyai kegandrungan terhadap kebudayaan daerah. Mereka kurang tertarik dan enggan mengapresiasinya, karena apa yang dilihat diasumsikan sebagai aktifitas keterbelakangan, kolot dan barangkali tidak memihak pada suatu kepentingan dalam kancah pergaulan. Sedikit sekali yang mau memahami dan mengapresiasinya.
Banyak hal yang menjadi penyebab melemahnya pemahaman dan apresiasi masyarakat terhadap seni tradisional (tradisional), antara lain, yang utama sistem pendidikan nasional tidak memberi peluang cukup pada anak didik untuk mengapresiasi dan mengembangkan budaya sendiri. Kemudian lembaga-lembaga masyarakat tradisional perannya tidak lagi berfungsi, dan sudah diambil alih oleh pemerintah, melalui konsep barunya yang penampakannya cenderung memihak pada kepentingan sesaat. Demikian pula tampaknya para seniman dan budayan Maduram peran dan fungsinya tidak lagi efektif, mereka lebih sibuk membangun fasilitas sosial dari pada fasilitas moral. Pemangku adat yang ditokohkan sebagai orang pertama di masyarakat cenderung menjadi kebanggaan diri dalam design seremonial. Akibatnya peluang dalam membangun kekuatan seni tradisional telah terjadi tarik ulur; siapa yang dikuasi dan siapa yang menguasai.
Dari persoalan tersebut, akibatnya yang terangkat ke permukaan justru cenderung pada budaya material, sementara yang moral dan spiritual yang menjadi substansi dari sebuah seni tradisional kurang dan hampir tidak mendapat perhatian. Anehnya, arus bawah yang menjadi kekuatan sentral menerima begitu saja tanpa prasangka, apalagi ditambah budaya import yang demikian gencar dari proses globalisiasi. Segala model “yang baru” semakin menjadi idola, sedang “yang lama” diberangus begitu saja. “Dalam mengembangkan seni budaya, kita ikuti saja selera masyarakat. Kesenian tidak perlu konsep, seni tradisi tidak relevan lagi jaman sekarang, minat masyarakat dangdut ya ikuti saja mereka”. Demikian ungkapan seorang pejabat birokrasi yang menangani hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan. “Kita ikuti saja kehendak masyarakat, yaitu kesenian yang gampang digelar (maksudnya kesenian instan, dangdut dan sejenisnya). Itulah kebutuhan kesenian masyarakat kitya”. Ironis memang.