Kenyataannya, karya-karya budaya masa silam tidak semuanya tanggap zaman dalam artian mempunyai daya guna untuk memecahkan masalah-masalah kekinian. Karena itu ia patut ditepis mana yang tanggap dan mana yang sudah kedaluarsa. Yang kedaluarsa cukup catat saja menjadi sejarah, simpan di museum sebagai bandingan dan pelajaran, sebagai bagian dari sejarah dari mana kelak bisa melihat perkembangan diri sebagai suatu komunitas. Untuk menilai kedaluarsa tidaknya suatu hasil budaya, tentu yang jadi ukurannya adalah kemampuan nilainya menjawab tantangan hari ini.
Suatu penampilan bentuk sampai hakikat sehingga bisa menyebutnya tanggap atau tidak, tentu perlu perangkat yang seimbang, perlu analisis dan kajian tingkat relevansinya, sehingga nantinya dalam menentukan sikap budaya, tidak terperangkap sikap apriori. Contoh misal; falsafah (budaya): bapa’ babu’ guru rato dapat dipahami sebagai wilayah yang disakralkan, karena didalamnya banyak mengajarkan nilai etika dan estetika dalam perilaku kehidupan di masyarakat. Namun dalam satu sisi, ada pihak menyebutnya sebagai bentuk pengebirian, karena akan membatasi keleluasaan melakukan tindakan dalam sebuah sistem di masyarakat.
Demikian pula dengan falsafah abantal omba’, asapo’ angen; lebih bagus pote tolang, etembang pote mata, dan seterusnya, semua mempunyai nilai dan makna, namun tidak semua pula dapat diterapkan dalam kondisi masyarakat sekarang ini. Lalu apa gerangan yang terjadi dari fenomena tersebut? Persoalannya sekarang, bagaimana dalam memilah sisi mana yang tanggap jaman, dan sisi mana pula sudah tidak patut lagi dikembangkan oleh masyarakat etnik Madura.
Nilai-nilai lokal tersebut dicari relevansinya dan diterapkan pada sarana baru kekinian. Perihal sarana inipun kiranya patut memperhatikan sarana yang sejak lama ada di dalam masyarakat, yaitu institusi masyarakat sebagai kekuatan masyarakat yang nantinya menjadi intrumen penggerak melalui kekuatan dasar piramida masyarakat. Dengan menggunakan (memanfaatkan) seni tradisional untuk menjawab tantangan kekinian dan keterpurukan, ini juga merupakan ujud kongkrit dari revitalisasi seni tradisional.
Komunitas Lokal Sebagai Aktor
Istilah pemberdayaan mungkin mengesankan bahwa komunitas Madura sekarang dalam keadaan tidak berdaya atau terpuruk. Istilah ini melukiskan keadaan yang negatif dan ada yang ingin diubah. Untuk mengubahnya, pertama dan terpenting adalah komunitas itu sendiri sebagai faktor intern pemberdayaan. Pemerintah, LSM baik didalam maupun dari luar atau siapapun tidak bisa menggantikan peranan komunitas itu sebagai aktor pemberdayaan dan kemudian pembangunan yang integral. Karena pemberdayaan dan kemudian pembangunan yang bergulir bukanlah buah derma (hadiah). Jauh sebelumnya, kebiasaan masyarakat yang kemudian menjadi tradisi, semangat mandiri, berprakarsa, dan semangat gotong royong (song-osong lombung) ini sangat kuat di kalangan masyarakat Madura. Membangun sebuah rumah, pemilik tidak repot lagi mencari tukang bangunan, material, dan bahkan suguhan, para tetangga dan kerabat keluarga tanpa pretensi apapun telah mempersiapkan segalanya. Demikian pula aktifitas-aktifitas lainnya, yang semuanya mengarah pada kekuatan dasar masyarakat, yang mandiri, yang madani.
xx
Menghidupkan kembali ingatan kolektif terhadap hal tersebut salah satu metode melalui pendekatan budaya adalah untuk pemberdayaan manusia seutuhnya. Melalui dialog budaya dalam usaha pemberdayaan, yaitu bagaimana mengembalikan suku, etnik dan masyarakat Madura, kembali menjadi komunitas-komunitas lokal, menjadi diri sendiri dengan nilai-nilai yang luhur. Untuk itu, pendidikan pembebasan melalui proses penyadaran akan menjadi kunci dan bisa dilakukan melalui pemaduan usaha-usaha produktif guna menjawab persoalan hari-hari yang kongkrit, dengan tanpa melupakan, bahwa usaha produktif ini merupakan bagian integral dari proses penyadaran dan pembebasan diri komunitas dari jebakan-jebakan globalisasi budaya.
Penyadaran diri tidak cukup hanya dengan mempersoalkan dan memperbincangkan semata, tapi bagaimana membangun jati diri masyarakat dan mengaktulisasikan dalam realitas kehidupan nyata. Sebab kenyataan yang terjadi, fungsi dan peran masyarakat dalam artian membentuk kekuatan budaya telah dieksploitasi oleh kecenderungan yang bersifat material, sementara budaya (daerah, lokal dan tradisional) yang lebih mengacu pada konsep kehidupan bersama, tenggang rasa dan gotong royong itu, hampir kehilangan maknanya. Bila fungsi tersebut lumpuh, apa yang diharapkan dari gerakan kekuatan budaya Madura sendiri?, kecuali secara lambat lauin masyarakat Madura akan kehilangan budaya Maduranya. Atau dengan kata lain tentu tak seorangpun mau menyatakan diri sebagai Malin Kundang. Kecuali ………………..