Oleh: Raudlatul Makiyah
Upacara adat yang lazim dilakukan masyarakat di Madura telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses budaya sendiri. Terdapar sejumlah upacara adat yang dilakukan masyarakat, salah satunya pelet kandung atau pelet betteng. Pelet kandung atau pelet betteng ialah yang secara turun menurun dilaksanakan para sesepuh dan diturunkan pada generasinya. Tujuan dari adat ini intinya adalah memohon keselamatan kandungan yang dilaksanakan pada saat umur kandungan empat bulan atau tujuh bulan. Tradisi ini dilaksanakan ketika tanggal empat belas atau lima belas bulan hijriyah yang merupakan bulan purnama dengan harapan bayi yang dikandung lahir dalam keadaan sempurna dan memiliki karakter serta akhlaq yang baik.
Pelet kandung atau pelet betteng telah menjadi adat dan kepercayaan masyarakat Madura yang bertujuan mengharap bayi dalam kandungan agar lahir dengan selamat dan menjadi anak sholeh-sholeha sesuai harapan orang tua dan keluarganya. Adapun acara yang dilaksanakan dalam upacara adat ini yaitu diawali dengan memijat perut ibu yang sedang mengandung empat atau tujuh bulan dengan menggunakan minyak kalettek (minyak kelapa) dengan tujuan mengatur tempat bayi di dalam rahim nantinya lahir dengan selamat, dan sehat, begitu pula dengan ibunya agar selalu diberi kesehatan. Hal tersebut dilakukan didalam kamar sang Ibu.
Acara yang kedua dari pelet kandung yaitu pembacaan ayat suci Al-Quran yang dibacakan oleh seorang kiai atau ustadz yang sengaja dihadirkan memandu atau memimpin pengajian. Pembacaan ayat suci biasanya surat Yasin, surat Yusuf dan surat Maryam. Surat Yasin memiliki tujuan agar bayi dan ibunya selamat, sedangkan surat Yusuf memiliki tujuan agar anak yang dilahirkan jika laki-laki tampan seperti Nabi Yusuf, sedangkan surat Maryam memiliki tujuan agar anak yang dilahirkan jika perempuan cantik dan suci seperti Siti Maryam.
Setelah pembacaan ayat suci Al-Qur an, Ibu yang sedang mengandung beserta suaminya diikuti dukun beranak dan di minta untuk menuju ke tengah halaman untuk dimandikan dengan duduk dikursi yang telah disediakan. Air untuk mandi ibu yang sedang mengandung tersebut beserta suaminya merupakan air yang sudah dicampur bermacam-macam bunga, seperti bunga melati, ghaddhing kuning, ghaddhing putih, kenanga, bugenfil, pandan dan semacamnya.
Selain itu dukun beranak memasukkan uang koin ke dalam bak yang sudah berisi air kembang dan menyirami Ibu yang sedang hamil tersebut bersama suaminya dengan menggunakan gayung yang terbuat dari belahan buah kelapa (tempurung dan isinya) yang diikatkan pada pegangan dari ranting kayu beringin. Penyiraman kemudian diikuti orang tua, mertua serta keluarga terdekat. Dalam siraman air tersebut bagi yang ikut memandikan wajib membaca sholawat .
Prosesi adat ini diawali sang perempuan yang sedang hamil didampingi suaminya duduk dikursi, dan selanjutnya dimandikan dengan siraman yang telah dibubuhi berbagai macam bunga dan memangku kelapa gading ( ghaddhing ) yang dpilih terbasik, kulitnya. Di bagian kulit kelapa tersebut sudah di ukir dengan tulisan carakan, abjad, atau huruf hijaiyah dengan tujuan semoga diberi kejayaan dan keselamatan. Setelah dimandikan lalu menjatuhkan telur yang ada dalam pangkuaannya. Telur tersebut diinjak sambil berdoa kepada yang Maha Pencipta memohon agar bayi yang dikandungnya dapat lahir dengan mudah dan diberi keselamatan. Setelah prosesi penyiraman selesai, maka kelapa yang ikut disiram tersebut tidak lantas dibuang, tetapi tetap disimpan di kolong tempat tidur , sampai sampai bayinya lahir.
Pada proses selanjutnya, sang suami lalu memutuskan sumbu yang diikat pada istrinya yang berupa kain kavan dengan menggunakan pisau yang tajam serta hanya sekali potong, tidak diulang-ulang. Hal tersebut memiliki tujuan bahwa berharap doa suaminya ibarat pisau yang tajam yang sekali potong langsung putus, maksudnya doa permohonan suaminya agar bayi dan ibunya diberi keselamatan dan kemudahan dapat dikabulkan oleh Allah S.W.T.
Adat upacara ini biasanya dilakukan bagi ibu yang mengandung anak pertama. Pelaksanaan adat ini biasanya dilaksanakan pada kehamilan ke empat bulan atau tujuh bulan skaligus mengadakan pengajian dengan mengundang semua tetangga dan sanak saudara. Bahkan dalam hidangan acara ini biasanya berupa cendol (jindul) yang menandakan bahwa anak yang dikandung bisa ditebak jenis kelaminnya. Jika rasa cendolnya manis, maka anak yang dikandung identik dengan perempuan, jika kurang manis identik dengan laki-laki. Bahkan dalam konsumsi yang disajikan wajib diberi permen yang tujuannya berharap anak yang akan dilahirkan berwajah manis.
Acara empat bulanan atau tujuh bulanan ini sudah menjadi tradisi baik di daerah perkotaan, apalagi didaerah pedesaan. Hal semacam ini tentunya bisa ambil sisi positifnya yaitu selalu memohon pertolongan Allah agar diberi kemudahan dan kelancaran dalam bersalin. Hal tersebut juga dapat dilakukan agar semua ibu yang sedang mengandung atau hamil gemar membaca Al-Qur’an untuk keselamatan ketika persalinan atau melahirkan. Upacara adat ini masih digunakan agar tidak punah, namun terkadang di zaman sekarang ini dimana jika sudah jauh dari orang tua, adat ini tidak dilaksanakan meski sedang mengandung anak pertama.