Oleh Abd A’la
Berbicara mengenai masyarakat Madura, fenomena yang hingga saat ini berkembang adalah stereotypingsemau gue, bahkan disimplifikasi sebagai tukang carok yang selalu menyebarkan kekerasan. Anekdot dan humor yang merepresentasikan keterbelakangan mereka ini sering muncul dalam perbincangan di berbagai forum santai maupun serius. masyarakat tersebut sebagai masyarakat marginal, terbelakang dalam hampir berbagai aspek kehidupan. Mereka nyaris diidentikkan dengan orang yang kurang berpendidikan, kasar, keras, kurang tahu tata pergaulan sosial,
Saat sains dan teknologi –termasuk informasi –mengalami perkembangan pesat, joke yang berkembang tentang masyarakat Madura juga terkait dengan persoalan itu. Intinya menandaskan tentang kegagapan mereka dalam menyikapi simbol-simbol utama modernitas. Mereka hidup berdampingan dengan penanda kemajuan dunia kontemporer itu, namun pada saat yang sama mereka dianggap tidak (belum) mampu memanfaatkan, memaknai, apalagi mentrasformasikannya ke dalam realitas kehidupan mereka.
Prasangka berbau etnis itu tentu tidak seluruhnya benar, tapi secara prinsip juga tidak seluruhnya salah. Realitas menunjukkan, ada beberapa pandangan, pembawaan, sikap, dan perilaku orang Madura saat ini yang memang kurang kondusif bagi pengembangan kehidupan mereka vis-a-vis dunia kontemporer. Hal ini tentu perlu dibincang secara kritis dan arif agar kehadiran modernitas dengan sains dan teknologinya, seperti Jembatan Suramadu, berdampak positif bagi mereka. Modernitas diharapkan dapat mengantarkan mereka menuju kehidupan lebih bermakna bagi mereka sendiri, bangsa dan umat manusia secara keseluruhan.
Perbincangan ini begitu urgen karena modernisasi yang saat ini menampakkan diri melalui globalisasi dengan segala dampak yang dibawanya tidak selalu berwajah ramah dan bermanfaat positif bagi manusia dan kehidupan. Sebab manusia yang ada dibelakang modernitas –kendati bukan merupakan satu-satunya penentu –memiliki peran signifikan untuk menentukan wajah dan dampak modernisasi. Melalui diskusi dan pencanderaan yang akurat terhadap masyarakat Madura, serta upaya penyikapan dan pemanfaatan Jembatan Suramadu dengan segala proyek dan kegiatan yang mengekornya, upaya pencarian kebijakan yang tepat untuk menjadikan mereka sebagai salah satu subyek dalam program ini diharapkan dapat tergambar dengan jelas.
Modernitas dan Globalisasi: Antara Ancaman, Tantangan dan Peluang
Saat ini modernitas merupakan realitas yang nyaris menyatu dengan kehidupan umat manusia. Ditolak atau tidak, ia akan tetap hadir di hadapan masyarakat mana pun. Karena itu persoalannya bukan lagi apakah modernitas akan ditolak atau deterima, tapi bagaimana modernitas disikapi, dimaknai, dan dikembangkan dalam kehidupan.
Penyikapan ini sangat mendesak diangkat ke ruang publik dan dikaji bersama karena modernitas dengan dasar utamanya rasionalisasi (bisa) menampakkan diri dalam –minimal –dua aspek yang berseberangan; di depan berwajah malaikat penolong, tapi di bagian belakang (dapat) menjadi setan yang mengerikan. Memodifikasi ungkapan Armstrong, budaya modernitas jelas telah memberdayakan manusia, membukakan dunia baru, memperluas horizon manusia, dan memberikan kemampuan kepada sebagian mereka untuk hidup lebih berbahagia dan lebih sehat. Namun pada saat yang sama, budaya modern juga memaksakan tuntutan yang serba sulit kepada manusia. Modernitas telah mengabaikan harga diri manusia.[1] Hal ini berpulang pada ketergantungannya kepada logos (rasionalisasi). Padahal rasionalisasi semata tidak mampu menangkap secara utuh keseluruhan eksistensi kedirian manusia. Sebagai contoh konkret, melalui rasionalisasi beberapa kelompok manusia mampu menangkap rahasia-rahasia alam sehingga mereka dapat menguasai alam dan kehidupan. Penguasaan subyektif ini –menurut Soroush –memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengubah dunia dan pandangannya mengenai dirinya. Mereka lalu menganggap diri mereka sebagai tuan rumah, pemilik, (dan bahkan arsitek) alam dan kehidupan. Dalam kondisi seperti itu, mereka lebih mengedepankan hak-hak tinimbang sebagai hamba Tuhan yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab.[2] Mereka lalu kurang peduli, bahkan mengabaikan terhadap keberadaan yang lain.