Huub de Jonge
Setelah Kompeni dibubarkan pada tahun 1799, Madura menjadi bagian dari negara kolonial Hindia Belanda, dan pemerintah di Batavia memutuskan untuk mempertahankan sistem pemerintahan tak langsung di Madura. Berbeda dengan para bupati di Jawa (jangan dicampuradukkan dengan raja-raja di Yogyakarta dan Surakarta), yang mengalami pemerint ahan langsung di sebagian besar Pulau Jawa, para bupati tersebut diturunkan status mereka menjadi pegawai-pegawai pribumi, sedangkan para penguasa Madura tetap meiniliki otonomi dalam pemerintahan. Dalam kasus Madura, politik kontrak VOC terus dilanjutkan.
Pada paroh pertama abad ke-19 “kondisi dan persyaratan” yang menjadi dasar bagi para bupati itu untuk memerintah, lebih banyak disesuaikan satu sama lain. Dengan demikian, setelah pemerintahan sementara Inggris (1811—1816), hubungan-hubungan dengan dunia luar diawasi dengan ketat. Kini para raja di Madura Timur juga dilarang mengadakan kontak apa pun dengan negara-negara asing Eropa dan dengan raja-raja bukan Madura tanpa izin residen. Sekarang pertemuan-pertemuan antara raja-raja Madura diperbolehkan, namun perselisihan yang mungkin terjadi, tidak boleh diselesaikan tanpa keputusan dari pemerintahan Belanda. Pemerintahan yang dengan berangsur-angsur diseragamkan ini mengandung arti, bahwa lambat laun Sumenep dan Pamekasan juga mendaparkan status “pemerintahan sendiri penuh”. Ayat tentang pinjaman tanah dicoret. 11)
Pada beberapa dasawarsa pertama abad ke-19, para bupati tersebut secara relatif berhasil memperluas kemandirian relatif mereka. Hal itu terutama karena sikap mereka yang suka menyesuaikan diri dengan kehendak militer dan gubernemen. Setiap tahun Pulau Madura menyumbangkan sejumlah besar calon serdadu untuk tentara kolonial. Sejak tahun 1807 dipelihara pasukan bantuan khusus yang bertempur di pihak Belanda di Sulawesi Selatan (1825) dan selama Perang Jawa—Perang Diponegoro—(1825— 1830). Pada tahun 1831 di setiap kabupaten didirikan korps-korps militer yang disebut barisan yang dilatih oleh para instruktur Eropa untuk memerangi huru-hara di seluruh Nusantara.12)
Sebagai tanda terima kasih terhadap dukungan tersebut, gubernemen menganugerahkan gelar-gelar yang semakin tinggi kepada para penguasa lokal seperti gelar panembahan dan sultan. Hutang piutang pajak yang masih menunggak dihapuskan— kontingen dalam bentuk natura pada zaman Raffles diubah menjadi pajak dalam bentuk uang—dan selama beberapa tahun pendapatan dan bandar dibiarkan menjadi penghasilan para bupati. Selama waktu itu campur tangan dalam pemerintahan para bupati dilakukan sedikit mungkin dan gubernemen bersedia menutup mata terhadap banyak hal yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan. Para bupati tersebut lebih banyak dipandang sebagai “seakan-akan sekutu-sekutu yang tidak tergantung” daripada sebagai “pengabdi-pengabdi negara” (Kielstra 1890: 522).