Karena pemerintah kolonial sama sekali tidak mencampuri urusan-urusan intern Pulau Madura, pemerintahan daerahpun semakin berwajah penguasa yang lalim dan sewenang wenang. Sudah sejak akhir táhun-tahun tiga puluhan, ternyata tekanan terhadap rakyat rnenjadi sedemikian beratnya, sehingga pemerintahan kolonial berpendapat tidak bisa lebih lama lagi berpangku tangan. Pemerintah kolonial menuntut agar perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelumnya, dipatuhi. Bersamaan dengan itu, pemerintah mulai mengadakan persiapan-persiapan untuk membentuk pemerintahan berdasarkan pola di Jawa. Dalam “kondisi dan persyaratan” yang baru, lebih banyak kekuasaan diserahkan kepada asisten residen sebagai penerus para duta yang diperbantukan kepada istana.13)
Para penasihat tanpa wewenang mengambil keputusan ini lambat laun berkembang menjadi para penguasa di belakang layar. Para pejabat tinggi Madura yang sebelumnya sudah berada di bawah pengawasan tertentu, berangsur-angsur ditempatkan pada posisi rendahan dibandingkan dengan asisten residen. Beberapa tahun kemudian, ketika fungsi bupati semata-mata menjadi bersifat seremonial belaka, para pejabat tinggi tersebut kini ditempatkan di bawah tanggung jawab asisten residen. Dalam kontrak yang baru dicantumkan juga ketentuan, bahwa pihak gubernemen berhak untuk bertindak bila kabupaten tidak diperintahkan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Lagi pula para bupati melepaskan hak waris mereka atas tahta, sehingga pemerintah kolonial yang selama ini menganggap tuntutan para keluarga yang berkuasa terhadap tahta lokal sebagai hal yang wajar, dengan deinikian memperoleh hak formil untuk mengakhiri pemerintahan sendiri tersebut.14)
Dalam pada itu, organisasi pemerintahan Madura yang ada, tidak mengalami perubahan yang berarti. Sebaliknya, saluran-saluran untuk menjalankan kekuasaan tradisional tetap dipertahankan dengan tegas. Sementara di Jawa berturut-turut diterapkan sistem Sewa Tanah (Landelijk stelsel), sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), dan sistem Perkebunan (Plantage stelsel) justru mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang mendalam di berbagai bidang dalam kehidupan bermasyarakat, malah di Madura hubungan-hubungan tradisional sedapat mungkin dipertahankan.15)
Baru pada tahun 1858, gubernemen mendapatkan peluang yang baik untuk menerapkan pemerintahan langsung di Pamekasan. Sumenep dan Madura Barat berturut-turut menyusul pada tahun 1883 dan 1885. Sebagian dan wilayah Sumenep digabungkan dengan Pamekasan dan Madura Barat pecah menjadi dua kabupaten: Bangkalan dan Sampang. 16)