Dalam perjalanan sejarah mulai abad sembilan belas, secara umum, masyarakat Madura terkotak dalam dua kelas; kelas petani dan kelas penguasa. Dua kelas ini, dihubungkan oleh sebuah sistem upeti berupa percaton atau sistem apanage dan jasa tenaga kerja. Dalam temuannya, Kunto juga mengurai ciri utama organisasi sosial kerajaan-kerajaan Madura yang kepemilikan tanahnya dikuasai oleh negara. Di masing-masing kerajaan, panembahan adalah pemilik tanah secara nominal, adapun pemilik yang sebenarnya adalah rakyat kebanyakan. Panembahan punya hak memungut pajak pertanian.
Tetapi, semenjak pertengahan abad sembilan belas, organisasi sosial ini bergeser. Ini bermula sejak Belanda menancapkan kekuasaan secara langsung. Padahal, di awal VOC berdiri, Madura diangkat kedudukannya secara khusus sebanding dengan Mataram. Posisi raja Madura diperkuat ketika Belanda meminta mereka mengadakan wajib militer membantu menjaga ketertiban nusantara (hlm. 160-161).
Kendati begitu, berada di bawah kekuasaan langsung tidak sepenuhnya kekuasaan itu bersifat mutlak dan hegemonik. Selalu saja ada gerakan perlawanan dalam berbagai bentuk dan cara. Misalnya gerakan para ario, kelas bangsawan, yang melakukan konspirasi atas pembunuhan keluarga Harthoorn di Pamekasan tahun 1868.
Contoh lain adalah gerakan rakyat. Ini bermula ketika Belanda mencurigai perilaku Kiai Semantri atau Kiai Lanceng. Kiai Semantri berdasarkan kabar yang masuk ke pejabat, mempunyai keahlian mengobati penyakit dan dapat menghilangkan nasib buruk. Kesohoran kiai ini membuat penguasa jengah. Dengan alasan kharisma, pemerintah lalu mengambil tindakan.
__________
KH Bisri Mustofa saat berkunjung ke Bang-batang Sumenep, bersama Kh. Abdul Majid dan D. Zawawi Imron (sumber foto: FB Aan Hasanah,)