Dua orang yang diutus; wedono dan asisten wedono mengunjungi langgar kiai Semantri. Saat wedono hendak mengajak kiai untuk menghadap residen, kiai marah sekali. Lalu, kiai memerintahkan santri keluar langgar untuk melakukan dzikir. Tak hanya itu, peristiwa itu juga membuat simpatisan kiai terus berdatangan. Bahkan, polisi yang ditugasi untuk mengatasi tamu tak kuasa menahan amukan massa. Polisi yang ditempatkan di Prajan, di serang oleh keluarga dan tamu kyai dengan senjata tajam, batu. Peristiwa Prajan ini, dalam pandangan kunto, seperti tiba-tiba menampakkan benturan ide antara otoritas kharismatik dengan birokrasi rasional dan berkaitan erat dengan gerakan revitalisasi Islam di berbagai tempat di Indonesia di abad sembilan belas. (hlm. 345)
Perlawanan dalam bentuk lain juga dilukiskan sangat baik oleh Kunto. Dalam sebuah peristiwa, lima puluh orang yang membangkang perintah Pak Arbisa seorang kliwon (kepala desa). Lima puluh orang itu tidak bersedia membangun jalan, karena Ratu mereka tidak mengizinkan. Ratu ini, bernama Pak Masan. Ia mengangkat dirinya menjadi ratu setelah mewarisi keris ayahnya. Saat dilaporkan ke pengadilan, Pak Masan tidak bisa dihukum karena tidak melakukan kriminal. Tetapi, moral cerita ini seperti menghadirkan satu ilustrasi mengenai pemogokan massa di Madura, dalam pengertian bahwa peristiwa tersebut menunjukkan struktur sosial desa, terutama ikatan pertalian keluarga dan batas-batas koalisi petani (hlm. 390-396)
Yang patut diperhatikan lagi, tentu saja soal pemimpin keagamaan; kyai dan guru tarekat yang merupakan inti dari hubungan sosial Madura. Maka, berdirinya SI seperti menjadi pengesahan atas kharisma mereka. SI mengubah parokialisme individual orang Madura menjadi lebih bisa bekerja sama. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, orang Madura telah membuktikan bahwa dirinya sanggup bekerja sama mengatasi individualisme mereka. Meski dalam beberapa kasus, SI bertindak sebagai agen perubahan untuk menyokong beberapa proyek pemerintah.
Sealur dengan Kuntowijoyo, aktivitas keagamaan juga menjadi bagian penting dalam perluasan dan pendalaman agama. Berkat agama para saudagar berhasil maju dan dapat mengukuhkan posisi mereka sebagai suatu kelompok. Ini simpulan yang juga sempat dimunculkan di endorsement dari tulisan Huub De Jonge. Tetapi dalam tulisan asli Juragans en Bandols: Tussen Handelaren op Het Eiland Madura ini, De Jonge menulis dengan lebih menukik ke wilayah ekonomi. Ia pun menggunakan pendekatan etnografi ekonomi.