Toh begitu, perubahan pemerintah ini memberi dampak lain seperti tiadanya isolasi di satu sisi dan pelibatan Madura dalam integrasi dan pembangunan dalam rangka batas kolonial (hlm. 78).
Maka, setelah berakhir pemerintahan sendiri selama dua ratus tahun, pulau itu mulai terbuka. Lalu lintas perdagangan dengan Jawa berlangsung meningkat, introduksi tanaman baru penerapan hak milik pribadi atas tanah, penggantian pungutan tradisional dalam natura dengan pajak uang yang relatif ringan dan pelbagai tindakan pemerintah yang lain mengakibatkan kemajuan di bidang ekonomi pertanian. Salah satu produk pentingnya adalah tembakau.
Karya disertasi De Jonge ini dalam beberapa hal juga bersambung dengan studinya Castel tentang peranan para pabrikan rokok di Kudus. Bedanya, Castel lebih terfokus pada peran para perdagangan perkotaan, sementara De Jonge lebih ke wilayah pedesaan. Studi ini mau melihat perkembangan satu jaringan perdagangan dan relasi antara pedagang dalam proses komersialisasi yang berkaitan dengan proses integrasi, selama seratus tahun terakhir. Namun di atas segalanya membicarakan perubahan sosial di Madura terutama yang diperoleh lewat aktifitas perdagangan ini seolah tak lengkap tanpa melihat kelompok-kelompok penting yang terlibat di dalamnya.
De Jonge mencatat ada kelompok terpenting dalam jaringan perdagangan ini yang punya peran dominan didalamya. Ya, jaringan para saudagar tembakau. Kelompok ini menguasai perdagangan di bagian timur Madura dan memonopoli hubungan-hubungan dengan Jawa. Aktivitas mereka mengikat, terutama oleh perluasan dan pendalaman agama Islam. Berkat agama inilah para saudagar itu berhasil maju dan dapat mengukuhkan posisi mereka sebagai satu kelompok. De Jonge sendiri memusatkan penelitian di Desa Parindu. Desa ini merupakan pusat perdagangan jalur pantai barat daya Sumenep. Memang, selain di jantung teluk, Parindu juga terletak di jalan pantai selatan yang besar, karena berada di tengah-tengah antara kota Pamekasan dan kota Sumenep.