Mien Ahmad Rifai
Sayang sekali bahwa baik babad, prasasti, arpon boks berupa peninggalan lain kerajaan-kerajaan kecil di masa awal pertumbuhannya itu tidak ada yang sampai pada kita. Beberapa cerita tutur yang ada memang menyiratkan pernah terdapatnya kedudukan pusat-prinar pemerintahan di Nipa, Pacangan, Parsanga, dan Mandaraga. Secan samar-samar semuanya memberikan petunjuk masa lalu kejayaan Madura di zaman yang masih kuno itu.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, kerajaan kecil-kecil Madura tersebut tidak dapat menyaring kekuasaan kerajaan-kerajaan yang didukung oleh daerah lebih subur dan makmur yang berpusat di Jawa Seperti akan terlihat nanti, Madura memang hampir tidak pernah dapat bebas secara polink dan ekonomi dari pengaruh pulau Jawa.
Ceritera tutur Madura seringkali mengaitkan asal penghuni pertama pulaunya dengan raja yang bersemayam di kota berbau dongeng Medang Kamulan ibukota kerajaan Kalingga atau Mataram kuno. Kisah seperti ini merupakan indikasi sudah terjadinya ketergantungan pemerintahan kuno Madura pada kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah pada abad VII-IX. Sebagaimana diketahui kenka itu bertahtalah di situ keluarga raja-raja Syailendra (penganut ajaran Budha) dan Sanjaya (yang beragama Hindu)
Dan berita-berita Cina diketahui bahwa kerajaan Mataram kuno itu menguasai sekitar 30 kerajaan bawahan yang ditaklukkannya. Ketika itu proses penginderaan telah sangat berlanjut sehingga birokrasi tata pemerintahan mulai rapi dan rumit sistemnya. Walaupun kerapan kerajaan kecil Madura tunduk pada maharaja yang bertahta di Jawa, para penguasanya masih memiliki otonomi yang luas Dalam daerah masing-masing, setiap penguasa setempat tadi masih tetap mempunyai wibawa sebagai raja penuh.
Mereka dapat menentukan dan memungut upeti, membebaskan sesuatu desa dari kewajiban membayar pajak, atau memberikan anugerah wilayah dan hadiah lain. Pola pemerintahan begini bertahan lama di Madura dan bahkan berlangsung terus sampai akhir abad XIX Jadi walaupun kedudukan para penguasa taklukan di Madura itu setingkat dengan adipati (bupan) atau malahan hanya akuww (camat), mereka memakai sebutan aria, panembahan, raja, atau kemudian bahkan sultan.
Terkait: Sejarah Kehidupan Leluhur Orang Madura
Bentuk pemerintahan demikian sangat memberatkan rakyat kecil, terutama para petani yang harus mendukung gaya kehidupan sistem feodalisme itu. Pola ini menimbulkan upeti bertingkat yang pada akhirnya harus ditanggung oleh rakyat kecil. Hasil upeti bertumpuk itu menyebabkan raja-raja Syailendra dan Sanjaya berturut-turut mampu mendirikan kompleks percandian Borobudur dan Prambanan yang sangat mengagumkan.
Pada pihak lain, dari relief yang terekam pada candi-candi tersebut dapat diketahui suasana kehidupan, corak penampilan dan kegiatan sehari-hari, serta macam busana penduduk Madura di zaman Mataram kuno tadi. Ketika itu hampir semua orang selalu bertelanjang dada karena bahan sandang merupakan komoditas yang langka dan mahal.
Rakyat kebanyakan selalu terlihat berkain pendek selutut yang dililitkan di bawah pusar, dengan yang pria terkadang mirip cawat atau celana pendek, diduga menggunakan bahan hasil tenunan yang kasar. Rambut mereka umumnya dibiarkan terurai dan sesekali yang wanita terlihat beranting telinga. Mereka sering digambarkan sibuk bekerja, membawa keranjang, pacul, arit, parang, memikul ikan dan menyandang jala.
Adapun pakaian golongan menengahnya berupa kain panjang sampai ke mata kaki, yang umumnya diikat memakai sabuk kain. Orang-orang yang merupakan petugas pemerintahan ini dapat cepat dikenali karena rambut mereka biasanya disanggul, dan mereka juga sering berperhiasan anting dan kalung, Sebagai kalangan atas, para pembesar masyarakat Madura ketika itu selalu berkain panjang, berikat pinggul terbuat dari kain yang diberi perhiasan di penyimpulannya.
Mereka umumnya bendempang kasta opta, berangkak da tangan, serta berkelat lengan aras Rambotnya yang disang uning berjumang berrunahkan permata. Adupun hernik garn has sema bahan pakaian tidak diketahui, mungkin sekali pelos atau funk berkotak kotak haul tenunan, dan diwarnai dengan menu dalam rebusan dengan pewarna alami berbahan tumbuhan Pakaian yang dikenakan para pembesar utamanya mungkin sekali merupakan kain patola, hasil tenun ikat ganda yang dumpor dan India
Dari pelukisan apa adanya tadi tidak sulit untuk melihat bahwa di balik kemegahan yang terpancarkan dan penampilan kalangan atas, terbaca pengerahan tenaga dan jerih payah rakyat secara terus menerus untuk mendukungnya. Lama kelamaan perkembangan keadaan seperti ini akan menyebabkan terjadinya pengurasan sumber daya alam sekitar secara berlebihan.
Daya dukung lingkungan akan rusak dan kemakmuran menurun, yang tentunya akan menambah beban penderitaan orang banyak. Sebagai akibatnya ibu kota kerajaan melemah dan pemerintahan mulai goyah karena diduga rakyat secara besar-besaran melarikan din ke tempat-tempat jauh. Berbarengan dengan itu terjadi letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyatnya yang diperkirakan menghancurkan ibu kota. Ini semua menyebabkan terjadinya pemindahan pusat kekuasaan dan Jawa Tengah ke Jawa Timur pada abad X
Wangsa atau dinasti isana keturunan Mpu Sindok Sri Icanawikrama Dharmattunggadewa menguasai daerah Jawa Timur pada abad X-XIII. Bagi Madura kemapanan kerajaan itu hanyalah merupakan pengetatan pemerintahan raja-raja Jawa terhadapnya. Di masa pemerintahan raja Darmawangsa (991 – 1009) terjadi peluasan wilayah kerajaan ke luar Jawa. Sebagai akibatnya sebagian wilayah. Sumatera, Kalimantan dan Bali dapat dikuasai.