Struktur pemerintahan lokal yang dijumpai VOC di Sumenep sebagian besar sama dengan struktur yang dijumpai di kerajaan-kerajaan Jawa. Raja atau pangeran merupakan kepala negara. Di dalam pelaksanaan pemerintahan sehari-hari, ia dibantu oleh beberapa orang mantri (pejabat istana), yang di antara mereka patih atau wakil bupati merupakan primus inter pares-nya. Mereka merupakan struktur pemerintahan paling atas yang menjangkar ke bawah ke tingkat lokal di bagian pusat kerajaan, yaitu sebuah dataran rendah yang dapat ditanami padi sawah pada musim penghujan. Di daerah-daerah yang lebih sulit dicapai dan di pulau-pulau kecil bawahan, pemerintahan jauh lebih terbelakang.
Raja tidak mempunyai sesuatu pengawasan permanen atas daerah-daerah ini.[45] Pejabat-pejabat tinggi, termasuk raja dan keluarga diberikan bagian daerah yang luas dalam apanage, yang memberi mereka hak untuk mengenakan pajak-pajak tertentu yang dilepaskan. Berkat pungutan itu, pada tahun 1781, Panembahan Sumolo dapat mendirikan Masjid Jamik Sumenep. Sedangkan untuk pejabat rendah, upah mereka diberikan dalam bentuk tanah bengkok kecil, biasanya berupa sawah.
Dalam hal ini dapat terlihat bahwa susunan birokrasi yang tercipta adalah susunan birokrasi tanah. VOC berupaya untuk tidak membuat raja-raja dan para pejabat di Sumenep jengkel, karena itu mereka menyuapinya dengan hak-hak seperti itu. Hal ini mengingat bahwa posisi penting dari Sumenep –Madura umumnya– dalam rute perdagangan VOC ke Maluku.
Ada perbedaan yang cukup signifikan dari perlakuan VOC dengan Sumenep dengan daerah lainnya di Madura, yaitu urusan kemiliteran. Di Sumenep, bentuk pengawasan VOC tidak ketat seperti di Madura Barat. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya larangan bagi raja Sumenep untuk memiliki amunisi dan pasukan. Bahkan raja mendirikan dan memelihara benteng di ibu kota untuk kepentingan VOC. Akan tetapi, setiap proses pemerintahan, VOC selalu turut ikut campur tangan. Mengenai hal ini, raja berjanji:
“Untuk memperlakukan rakyat Sumenep, baik orang besar maupun orang kecil, yang diletakkan sebagai bawahan VOC di bawah kekuasaan saya, dengan adil dan murah hati.”[46]
Berdasarkan perjanjian ini kiranya menjadi jelas mengenai alasan perlakuan berbeda VOC kepada Sumenep, yaitu kesetiaan penguasa Sumenep, yang selanjutnya banyak dimanfaatkan oleh VOC. Berkaitan dengan hal ini, rakyat tentu menjadi objek bagi raja atau VOC untuk digunakan tenaganya dalam meraup kekayaan dan keuntungan yang semakin bertambah seiring dengan tuntutan yang dipinta.
Bila melihat dokumen-dokumen resmi periode ini yang masih ada, seperti surat-surat tahunan Gubernur Jenderal (memories vans overdracht) dan jurnal harian (daghregisters) informasi yang diberikan banyak menggambarkan mengenai kejadian-kejadian di istana, namun hanya sekali-kali saja yang menunjukkan hubungan dengan rakyat, sehingga gambaran utuh mengeni nasib penduduk setempat pada periode ini kurang utuh.
Tetapi di dalam sebuah memorandum tahun 1771, perhatian diarahkan pada “pemerintahan yang jelek” dari raja dan “pembunuhan mengerikan yang terjadi terus-menerus di sana, yang tidak dilaporkan dengan cukup cepat olehnya”.[47] Memang di satu pihak, pada abad ke-17 merupakan masa kejayaan VOC (yang tentunya Sumenep juga turut memengaruhi), tapi belum tentu bagi nasib para penduduk setempat. Namun yang jelas, pada tahun 1799 VOC resmi dibubarkan karena banyak masalah eksternal maupun internal di dalam tubuh VOC, sehingga kemudian harta kekayaan VOC diputuskan untuk diambil alih oleh negara, yang selanjutnya menjadi kisah awal pencengkraman kolonisasi Hindia Belanda di Nusantara, termasuk di Sumenep.
Seiring dengan pengambilalihan aset VOC kepada negara, maka pada saat yang bersamaan diputuskan bahwa urusan administrasi disesuaikan dengan kepentingan negara. Pada tahun 1808, Deandels diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Batavia. Pada awal pemerintahannya, ia langsung menghancurkan semua kontrak dengan regen-regen (raja) Jawa, menurunkan derajat mereka, dan meletakkan pulau Jawa di bawah pemerintahan langsung pemerintah pusat negara kolonial.[48] Yang menarik dalam kebijakan ini, Madura, termasuk Sumenep, belum dimasukkan di dalam rencana pembaruan dan tetap dalam statusnya sebagai suatu daeah yang diperintah secara tidak langsung.[49]
Pada masa pemerintahannya, Deandels memilih orang-orang Madura sebagai bagian dari pasukan tentaranya. Untuk tidak mengecewakan Gubernur Jenderal, karena senang posisi mereka tidak diubah, para bupati pun dengan cepat mempersiapkan para penduduknya untuk ikut menjadi bagian dari pasukan tentara kolonial, layaknya pemberian kontingen hidup pada masa VOC.
Namun, banyak penduduk setempat yang melarikan diri menghindari wajib militer ini. Bahkan sampai pada tahun 1825-1830, bala tentara Sumenep, bersama Pamekasan dan Bangkalan dikirimkan berkali-kali ke medan perang Diponegoro. Pada tahun 1831, Belanda membentuk korps Barisan di seluruh Madura, termasuk Sumenep, untuk dikerahkan dalam perang-perang. Misalnya pada perang di Jambi tahun 1833, Minangkabau 1836, Bali 1844, Aceh 1873, dan lainnya. Kekuatan Barisan ini terdiri dari infanteri, pasukan kuda, artileri, dan pasukan pionir. Terkait hal ini raja Sumenep menandatangani kontrak, yakni dibebaskan mengirim 1.080 serdadu untuk tentara regular kolonial selama dua tahun dan dibebaskan penuh dari upeti selama lima tahun.[50]
Setelah pengambilalihan aset VOC kepada negara, Inggris sempat mencengkramkan kolonisasinya selama empat tahun (1811-1816). Dalam selang waktu yang singkat ini, sebenarnya banyak perubahan yang dilakukan, termasuk kepada Sumenep. Kontingen dalam bentuk natura diganti dengan bentuk uang, pendapatan dari Bandar juga dibiarkan diterima sebagai penghasilan para bupati. Pada masa ini hubungan antara Sumenep dan Inggris cukup baik, malah raja Sumenep pada masa ini mendapatkan gelar istimewa dari pemerintahan Raffles karena telah membantu banyak dalam pembukuan The History of Java.
________________________
45 Huub de Jonge, Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi Studi-Studi Interdisipliner Tentang Masyarakat Madura,Op.Cit., hal. 14
46 Iskandar Zulkarnain, Op.Cit., hal. 10.
47 Raja dalam dokumen-dokumen Belanda disebut Regen
48 Huub de Jonge, Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi Studi-Studi Interdisipliner Tentang Masyarakat Madura,Op.Cit., hal. 8-9.
49 Terjemahan asli seperti yang dikutip Huub de Jonge dari Heeres adalah sebagai berikut: “de volkeren van Soemenep, soowel groote als kleyne, als onderdanen van de Compagnie onder mijn regentschap gestelt, in alle regert en billikheyd te behandelen”
50 Huub de Jonge, Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi Studi-Studi Interdisipliner Tentang Masyarakat Madura, Op.Cit., hal. 18.
51 Pada periode kolonisasi Hindia-Belanda, wilayah-wilayah di daerah Mancanegara (sebutan Mataram untuk menyebut daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura) masing-masing dikepalai oleh seorang bupati.
52 Huub de Jonge, Op.Cit., hal. 19.
53 Kuntowijoyo, Op.Cit., hal. 147.
Tulisan bersambung:
- Masa Kejayaan Kerajaan Sumenep Pra Islam
- Raja-raja Sumenep yang Berkuasa Masa Pra Islam
- Peperangan Periode Koloneal di Tanah Sumenep
- Kerajaan Sumenep Masa Periode Islam
- Masa Keemasan Zaman Sultan Abdurrahman
- Pengaruh Islam dalam Sistem Birokrasi Pemerintahan Sumenep
- Hubungan Kerajaan Sumenep dengan Belanda
- Pengawasan VOC Tidak Seketat Madura Barat
- Konflik yang Mengakibatkan Keruntuhan Kerajaan Sumenep