Pengawasan VOC Tidak Seketat Madura Barat

Setelah konvensi London, Belanda kembali mendapatkan tanah jajahannya. Untuk itu, kontrak-kontrak kembali menjadi andalan Belanda dalam turut ikut campur tangan dalam kolonisasi daerah jajahannya. Salah satu hal yang menarik pada masa ini adalah pada status para bupati. Bupati-bupati Sumenep menggunakan gelar-gelar kehormatan, misalnya gelar Panembahan. Suatu sumber menyatakan bahwa gelar-gelar yang diperoleh merupakan hasil dari pembelian atau melalui jalan sogokan.

Para penguasa Sumenep pada waktu itu memang bukan merupakan vassal atau bawahan biasa, namun bupati yang dirajakan (vorstelijke regent) atau sekutu yang merdeka (onafhankelijke bondgenoten). Namun, bila ditinjau dari tiadanya wewenang bupati Sumenep untuk berhubungan dengan wilayah lainnya, hubungan bupati Sumenep dan Belanda layaknya pepesan kosong. Kedaulatan sepenuhnya di tangan Belanda, malah Belandalah yang memiliki hak dalam menentukan dan mengangkat patih.

Bahkan pasca perang Diponogoro, bupati di Madura terkena kebijakan tanam paksa Belanda. Pada fase ini terjadi perlawanan rakyat terhadap upaya penyerahan sebagian tanah untuk ditanami tanaman yang ditentukan pemerintah. Campur tangan terhadap pembagian lahan akhirnya gagal dilakukan. Selain itu, kondisi tanah dan iklim yang tidak memungkinkan menyebabkan kebijakan tanam paksa ini tidak diteruskan.

Kembali kepada kehidupan istana, pada tahun 1854, asisten residen mendapat kedudukan sejajar dengan bupati.[54] Dalam kontrak yang sama, bupati yang baru dinyatakan memperoleh kekuasaan atas kabupaten “tanpa hak untuk mewariskannya kepada anaknya atau keturunan selanjutnya.[5] Bila melihat isi surat yang dikirim oleh Sultan Pakunatiningrat kepada Gubernur Jenderal A.G.P. Baron van der Capellen tanggal 27 Februari 1826 sangat tampak bagaimana Belanda berhasil memengaruhi bupati dalam menjalin hubungan. Salah satu kutipannya adalah:

Maka Sri Paduka Yang Dipertuan Besar harap akan anak cucu hamba hendak menurut tauladan hamba dengan setiawan berlindungkan diri hamba empunya anak cucu di bawah pernaungan Gupernement Nederland karena Gupernement itu pun memeliharakan kebajikan rakyat serta melindungkan raja yang baik dengan setiawan jua adanya”[56]

Dalam kutipan tersebut tampak jelas siapa yang menguasai dan yang dikuasai. Pada tahun 1857, Belanda selanjutnya memperkuat kontrol politiknya dengan menetapkan Keresidenan Madura dengan ibu kotanya di Pamekasan. Belanda menempatkan asisten residen masing-masing di dua kerajaan, Bangkalan dan Sumenep, yang mereka anggap sebagai kabupaten-kabupaten.

Pada tahun-tahun berikutnya sedikit demi sedikit Belanda telah menyusutkan lebih jauh kerajaan-kerajaan pribumi sampai akhirnya diputuskan untuk dihapuskan. Hal ini dilakukan pelan-pelan, setelah Pamekasan tahun 1858, baru Sumenep pada tahun 1883. Setelah tahun 1885, Belanda membagi Madura menjadi empat afdeeling  dan empat kabupaten. Afdeeling dikepalai oleh asisten residen dan kabupaten dikepalai oleh bupati. Afdeeling-afdeeling dan kabupaten-kabupaten itu adalah Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.

Pada prosesnya, Belanda tidak dapat melepaskan kontrolnya terhadap Sumenep. Kolonial mengontrol Sumenep dengan berbagai bentuk, misalnya dalam mengontrol pengadilan dengan mengangkat kepala jaksa dan ajun jaksa. Penjelasan ini berkaitan dengan penjelasan sebelumnya, hal yang paling jelas adalah pada saat Pangeran Ario Mangku Adiningrat diangkat menjadi bupati pada tahun 1881.

Meskipun pergantian pemerintahan secara resmi belum sempurna pada waktu itu, penguasa Sumenep bukan lagi raja yang mandiri, tetapi merupakan pegawai Belanda. Dalam waktu yang sama, pemerintah tertinggi di The Hague menetapkan bahwa Sumenep berada di bawah penguasaan langsung pemerintah Hindia Timur Belanda. Peralihan secara resmi kekuasaan di Sumenep dilakukan pada tahun 1883. Dengan Besluit gubernur jenderal tanggal 18 Oktober 1883 No. 8 (Staatsblad No. 242) kerajaan Sumenep dihapuskan.[57]

Untuk itu ada beberapa perubahan kebijakan, misalnya pengaturan pajak tanah ditangani oleh kontrolir-kontrolir pemerintah, personel-personel pribumi semuanya digaji dengan uang tunai, barang milik panembahan dianggap milik umum (istana, rumah asisten residen, kantor asisten residen, benteng, kantor pos, pesanggarahan, dan lainnya), untuk menenagkan kaum bangsawan, Belanda berjanji dalam hal pengangkatan pegawai-pegawai di kabupaten akan mengutamakan para bangsawan.[58] Memang secara perbaikan bagi penduduk Sumenep berkembang, namun bila ditinjau secara ruang lingkup yang lebih besar, Jawa, Sumenep masih merupakan wilayah yang terbelakang. Dikembangkanlah sebuah rencana kesejahteraan. Hanya sebagian dari rencana itu yang dapat dilaksanakan karena invansi Jepang.[59]

____________________

54 Sebenarnya dari masa VOC, posisi sejenis asisten residen sudah ada, namun tidak memiliki posisi untuk berkuasa.
55Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta, Ikhtisar Madura, “Kontrak 1854” dalam agama, jbudayaan, 23
56 Mu’jizah, Iluminasi dalam Surat-Surat  Melayu Abad ke-18 dan ke-19, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009, hal. 96.
57 Kuntowijoyo, Op.Cit., hal. 171.
58 Kuntowijoyo, Op.Cit., hal. 172.
59 Huub de Jonge, Madura Empat Zaman Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perdagangan Ekonomi, dan Islam Suatu Studi Antropologi Ekonomi Op.Cit., hal. 58. [Lontar Madura]

Tulisan bersambung:

  1. Masa Kejayaan Kerajaan Sumenep Pra Islam
  2. Raja-raja Sumenep yang Berkuasa Masa Pra Islam
  3. Peperangan Periode Koloneal di Tanah Sumenep
  4. Kerajaan Sumenep Masa Periode Islam
  5. Masa Keemasan Zaman Sultan Abdurrahman
  6. Pengaruh Islam dalam Sistem Birokrasi Pemerintahan Sumenep
  7. Hubungan Kerajaan Sumenep dengan Belanda
  8. Pengawasan VOC Tidak Seketat Madura Barat
  9. Konflik yang Mengakibatkan Keruntuhan Kerajaan Sumenep

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.