Pengakuan pemerintah kolonial Belanda ini tidak lain merupakan manifestasi politik klasik “devide et empera”. Kekuasaan riil (realisme politik) yang disembunyikan di balik simbol-simbol yang mempesona mengharuskan penguasa pnibumi tergantung pada Belanda sebagai kekuatan dominan. Strategi pemerintah kolonial itu menjadikan para penguasa pribumi sebagai alat untuk mecapai tujuan penjajahan. Rakyar diperintah melaksanakan kemauan pemenintah kolonial, seolah-olah semua penintah itu datang dari para penguasa peribumi sendini. (R. Heine Gelderen, 1982: 1-30: B.J. Oschnieke, 1974 : 35-40: Rafles, 1978: 266-276: TaufikAbdullah, 1984: 248-249 : Sumarsaid Murtono, 1985: 17-62 : Selo Sumardjan, 1981: 15-50: G. Moedjanto, 1987: 10-30).
Dalam konteks ini, kalau ada penguasa pribumi yang menguntungkan politik kolonial dalam keadaan terancam, maka Belanda akan membantu menstabilkan kekuasaannya dengan ekspansi militer. Adakalanya rakyat diminta untuk membantu perang kolonial Belanda melawan Adipati/Penguasa yang menentang kebijakan pemerintah Kompeni Belanda.
Dibawah Kekuasaan VOC
Kalau R. Mob. Saud hidup sebelum penjajahan Belanda, secara yuridis cukup dilantik dan dikukuhkan oleh Adipati Mataram. Namun Adipati Mataram telah tunduk kepada kompeni Belanda, sehingga legitimasi yuridis terhadap R. Moh. Saud harus dilakukan oleh kompeni Belanda. Oleh karena Madura ada di dalam kekuasaan Adipati Mataram, maka Adipati Madura yang ada dibawah kekuasaan ke-Adipatian Mataram, harus tunduk kepada Kompeni Belanda
Kepercayaan VO.C kepada Bupati Panembahan Setiadiningrat (Cakraningrat V) semakin meningkat sehingga pada tahun 1762 M, ia dianugerahi gelar Penembahan Cakraningrat V. Ia banyak membantu Belanda menanamkan kekuasaannya di ujung timur pulau Jawa melalui penumpasan pemberontakan Blambangan pada tahun 1764-1767 M. sebagai imbalannya pulau-pulau di wilayah Sumenep diserahkan ke adipati Bangkalan.
Sehabis perang ada upaya memindahkan penduduk ke wilayah Blambangan, kemudian didatangi orang Madura. Karena jasa-jasanya, Panembahan Cakraningrat V diangkat sebagai “wedana bupati” wilayah Bangwetan, yang meliputi Madura dan wilayah pantai utara Jawa Timur. Tugas itu dipangku sampai jabatan itu dihapus oleh Kompeni Belanda pada tahun 1770 M. Kedudukan itu sejak dulu telah diperjuangkan tapi gagal diraih Cakraningkat IV, namun kemudian bisa diraih oleh anak keturunannya.