Sekalipun seluruh Madura sejak tahun 1743 M sudah menjadi hak milik Belanda, terdapat perbedaan menyolok dalam cara VO.C mengelola bagian-bagian pulau ini. Untuk daerah Sumenep dan Pamekasan selalu diangkat Bupati/Penguasa yang berswap Adipati, sedangkan penguasa daaerah Madura Barat, diperlakukan sebagai Adipati yang berlindung pada VO.C. Karena itu pengangkatan pada penguasa Bangkalan diperoleh melalui penandatanganan perjanjian dengan beberapa syarat. Pengukuhan kedudukan mereka biasanya dilakukan oleh Gubenur JenderaL di Jakarta. Sebaliknya Bupati-Bupati Sumenep dan Pamekasan harus menandatangani kontrak/perjanjian ikatan politik dan mereka cukup dilantik oleh kepala perwakilan dagang VO4C. setempat.
Dalam menerapkan penguasaannya atas Madura, VO.C. mendudukkan dirinya di puncak piramida kekuasaan yang asalnya ditempati oleh Adipati Mataram sebagai yang dipertuan. Istana Gubenur Jenderal di Jakarta menjadi pengganti keraton Adipati Mataram, sedangkan sistem pemerintahan oleh Bupati atau Adipati bawahan dilestarikan dan tidak diganggu. Karena itu maka segala keinginan V.O.C. dalam menjaga kepentingan dagangnya diteruskan melalui saluran birokrasi bertingkat yang telah mapan sejak zaman Majapahit.
Hanya saja seorang penguasa yang baru diangkat diharuskan menanda tangani pernyataan yang berisikan perincian persyaratan ketergantungannya kepada VO.C. Salah satu persyaratan yang ditekankan Kompeni Belanda dalam kontrak itu ialah penggantian pangkat atau kedudukan seorang Bupati tidak harus diberikan kepada keturunannya. Dalam arti, VO.C. bebas mengangkat siapa saja yang disukainya dalam mengisi kekosongan Adipati bawahan atau bupati. Karena itu Bendara Moh. Saud, yang menurut penilaian Belanda, bukan dan keluarga keraton, dapat diangkat menjadi bupati Sumenep melalui kontrak ikatan politik.
Sebagai pemegang kedaulatan atas wilayah Madura, maka VO.C. tidak menghapus feodalisme tradisional untuk memetik upeti serta kerja paksa dari rakyat. Begitu pula hak pengerahan laskar untuk diibatkan dalam peperangan terus dituntut. Karéna VO.C. tidak memerintahkan secara langsung, maka hak yang diminta itu seringkali tumpang tindih dengan hak yang dituntut pula dari rakyat oleh para penguasa pribumi. Akibatnya penderitaan rakyat semakin berat oleh beban ganda yang menimpanya, karena akibat dan ketamakan dan kerakusan Kompeni Belanda. Ada dua macam beban yang dibebankan kepada bupati untuk memungutnya dari rakyat untuk VO.C.