Peran carok
kMeski agak berbeda dengan dua buku di atas, karya etnografis yang ditulis Latief Wiyata berjudul Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura ini dalam beberapa hal memiliki titik singgung. Balutan antara agama dan budaya, selain karena motif ekonomi, yang terbungkus dalam balutan harga diri, memunculkan pengadilan sendiri yang diinstitusionalisasi dengan sebutan carok.
Nampaknya carok dalam pandangan Latief tidak sekadar merefleksikan karakter orang Madura, tapi juga merefleksikan topografi sosial dan geografis. Latief menengarai kontur tanah yang membuat garis-garis tegas menjadi salah satu indikasi kondisi sosial di pedesaan Madura sejak dulu yang tak memberi rasa aman bagi penduduknya. Kondisi sosial yang tak aman ini juga terlihat dari semua bentuk arsitektur rumah tradisional yang hanya memiliki satu pintu di bagian depan sehingga tidak ada jalan bagi orang untuk keluar atau masuk rumah (hlm. 41).
Lebih luas dari gambaran di atas, Latief memperlihatkan bahwa di Madura terutama di Sumenep dimana penelitian dipusatkan, terdapat kampong Mejhi, yaitu kumpulan-kumpulan atau kelompok-kelompok pemukiman penduduk desa yang satu sama lain sering terisolasi. Jarak antara satu pemukiman dan pemukiman lain bisa sampai sekitar satu sampai dua kilometer (hlm. 43).
Selain itu juga kondisi alam yang tandus dan gersang, pertumbuhan penduduk yang cepat dan tingkat pendapat yang sangat rendah, yang diperburuk dengan sitem politik feodalisme akibat pemerintahan tidak langsung yang diterapkan oleh pemerintah kolonial, ikut menyiapkan kelahiran tradisi carok ini.