Kontur tanah dan perkampungan juga melahirkan proteksi khusus perempuan. Lelaki dan perempuan tidak bertamu di ruang tamu. Untuk menemui tuan rumah, lelaki biasanya menemui di langgar. Jika tamu datang bersama istrinya, maka hanya istrinya yang boleh masuk ruang tamu. Oleh karena itu, setiap tamu harus menuju bangunan surau, di tempat inilah,dia akan ditemui oleh tuan rumah laki-laki.
Murid De Jonge ini menemukan bahwa carok tidak merujuk pada semua bentuk kekerasan yang terjadi atau dilakukan masyarakat Madura, sebagaimana yang dianggapkan prang luar Madura selama ini. Melainkan, suatu institusionalisasi kekerasan yang berkaitan erat dengan struktur budaya, sosial, kondisi sosial ekonomi, agama dan pendidikan. Secara historis, carok sudah dikenal masyarakat Madura sejak berabad lalu.
Orang Madura melakukan carok tidak hanya karena tak mau dianggap pengecut, tetapi juga agar tetap diakui oleh masyarakat sekelilingnya sebagai orang Madura. Tipikal ini seperti memiliki pengertian sendiri yang tidak sama dengan pengertian orang luar. Karena adanya pengertian seperti itu, tindakan kekerasan yang disebut carok ini selalu memberikan kesan menakutkan pada orang luar (hlm. 6).
Carok dalam hal itu seakan satu-satunya perbuatan yang harus dilakukan. Para pelaku carok seakan tak mampu mencari dan memilih opsi lain dalam upaya menemukan solusi ketika mereka sedang mengalami konflik. Mengapa harus carok? Sebab, carok dianggap lebih memenuhi rasa keadilan. Selain itu carok juga merupakan cermin kekurangmampuan para pelaku mengekspresikan budi bahasa sehingga lebih mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik untuk membunuh orang-orang yang dianggap musuh. Akibatnya, konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi.