Latief, berdasarkan uraian dari De Jonge, juga menyimpulkan bahwa munculnya tindak kekerasan dalam kehidupan masyarakat Madura setidaknya disebabkan dua hal. Pertama, pemerintah pada waktu itu tidak memperhatikan masyarakat Madura; kedua, sebagai konsekuensi dari yang pertama, masyarakat menjadi tidak percaya kepada pemerintah sehingga segala persoalan atau konflik kekerasan digunakan, tanpa peduli peraturan. Cara penyelesaian dengan tindak kekerasan ini tiada lain adalah carok (hlm. 69)
Carok biasanya dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap istri sehingga menyebabkan malu. Dalam konteks itu, carok mengindikasikan monopoli kekuasaan suami terhadap istri. Monopoli ini ditafsirkan Latief antara lain dengan ditandai adanya perlindungan secara over.
Berdasarkan data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian lapangan Latief, dari enam kasus yang diteliti, sebagaimana dideskripsikan di bab II dan Bab IV, ada beberapa hal yang patut dicatat. Dari enam kasus yang diteliti, tiga masalah perempuan, tiga kasus lainnya tuduhan mencuri , perebutan warisan dan balasan dendam. Semuanya mengacu pada akar yang sama, yaitu perasaan malo karena pelecahan harga diri (martabat). Untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan, mereka melakukan carok, yang ternyata selalu mendapat dukungan dari lingkungan sosial (hlm. 169).
Dalam konteks ini peristiwa carok pada dasarnya merupakan manifestasi dari relasi sosial yang tingkat keakrabannya sangat rendah karena didominasi secara signifikan oleh rasa permusuhan. Dengan kata lain, peristiwa carok hanya akan terjadi jika pelakunya berada dalam kondisi permusuhan (hlm. 61)
Tulisan bersambung: