Penyiaran Islam di Madura

Para Santri di Madura

Sultan Agung mengirim bala bantuan baru di bawah pimpinan Kiyahi Juru Kiting. Karena bantuan baru itu dapatlah tentara Madura dikalahkan.

 Tetapi Sultan Agung memang seorang raja yang berpandangan jauh dan kaya raya dengan siasat perang dan politik. Setelah Madura ditaklukkan, segera baginda angkat anak saudara dari Bupati Arisbaya menjadi adipati buat seluruh Madura. Namanya ialah Raden Praseno! Diberi gelar Cakraningrat dan ditetapkan kedudukannya di Sampang! Dan diberi hak memakai titel Pangeran!

Bukan main gembira Pangeran Cakraningrat menerima budi yang tinggi dari Sri Sultan Agung. Sultan Agung telah mengerti bahwa pengaruh Islam lebih mendalam di daerah itu dan penduduk lebih menyukai dikepalai oleh kaumnya sendiri. Sebab itu baginda taklukkan negeri itu dengan budi yang luhur.

Dia “mandikan” Cakraningrat dengan serba-serbi kemuliaan, sehingga kerapkali Pangeran Cakraningrat menghadap ke Mataram, bahkan menyediakan tenaga di mana perlu membantu Sultan, bahkan memimpin tentara yang gagah berani membela kemuliaan Mataram. Madura mendapat otonomi yang luas di bawah pimpinan pangerannya!

Setelah Sri Sultan Agung merasa aman terhadap Madura, barulah baginda kerahkan tentara menaklukkan Surabaya dan baginda sendiri memimpinnya. Oleh karena amat besar jumlah tentara Mataram dan bantuan dari Madura tidak diharapkan lagi, maka adipati Surabaya Pangeran Fakih mengirim utusan kepada baginda ingin berdamai.

Bilamana Pangeran Fakih datang menghadap Sultan, beliau dielu-elukan dengan serba kebesaran yang layak bagi raja-raja yang besar. Dan tidak ada seorang prajurit pun, atau orang-orang besar kerajaan yang mengangkat muka atau kurang hormat seketika beliau datang ke perkemahan Sultan! Dia diperlakukan bukan sebagai musuh.

Ketika itulah Sultan Agung memperlihatkan kebesaran jiwanya. Meskipun dia seorang “Senopati” sejati, kepala perang gagah perkasa, muka manisnyalah yang dipertunjukkannya kepada musuhnya itu. Dia ingin menaklukkan Surabaya dengan kasih dan cinta! Suatu kejadian gilang gemilang dalam sejarah tanah air kita!

Penaklukan Surabaya sudah tidak disebut-sebut lagi, karena hati Pangeran Faqih sendiri yang sudah takluk. Apatah lagi Sultan pandai membawakan dirinya sebagai Sultan beragama Islam, sebagaimana di daerah Hindu, dia pun dapat mempertunjukkan toleransinya dalam sikap yang lain pula. Yang dibicarakan tidak lagi urusan penyerahan kekuasaan, tetapi Sultan “meminang” Pangeran Faqih, sudi kiranya menerima nasib puteri baginda yang dikasihi, Ratu Wandan Sari! Dan biarlah puteri itu tinggal bersama-sama di Surabaya!

Satu siasat yang amat tinggi dan payah menolaknya. Apatah lagi Ratu Wandan Sari pun seorang puteri yang cantik rupawan.

Artinya Surabaya takluk ke bawah Mataram dan Sultan Agung meninggalkan puterinya yang dikasihi mendampingi adipati yang telah takluk itu. Dan dengan sendirinya kekuasaan tertinggi ialah di Mataram.

Setelah itu Sultan Agung kembali ke Mataram!

Ratu Wandan Sari meneruskan siasat ayahnya! Dapat dibujuknya adipati Surabaya supaya menyerang Giri. Itulah suatu ujian yang amat besar bagi adipati Surabaya, bujuk cumbu istrinya menyebabkan beliau sudi melawan gurunya.

Tetapi tentaranya kalah, sebab Sunan Giri melawan dengan gigih! Akhirnya Puteri Wandan Sari memimpin penyerangan yang kedua, dengan memakai pakaian laki-laki. Waktu itulah baru Sunan Giri dapat dikalahkan dan ditawan, dibawa ke Mataram. Dalam bersoal jawab, Sunan menyatakan terus terang tidak puas hatinya karena Sultan Mataram tidak betul-betul menegakkan Islam.

Tetapi sultan pun membela pendiriannya dan berjanji tidak akan mengganggu perkembangan Islam dan pimpinan Giri dalam hal agama. Sunan Giri diangkat kembali dan diberi izin memerintah Giri sebagai sediakala. Cuma gelarnya sebagai “Sunan” diturunkan menjadi Panembahan saja!

Demikianlah kisah perlawanan Pesisir terhadap Pedalaman pada waktu itu. Dan bagi Sultan Agung sendiri, seluruh penaklukan yang dilakukannya ke Jawa Timur dan Jawa Barat adalah rangka mempersatukan Tanah Jawa, dan dalam rangka menghadapi musuh besarnya. Kompeni Belanda!

———–

*Dikutip dari buku karya Prof DR Buya Hamka: “Dari Perbendaharaan Lama”. Buku ini  berisi kumpulan tulisan Buya Hamka di Majalah Abadi antara tahun  1955 sampai 1960.

Disalin dari Republika

Terkait: Islam di Pulau Madura Sejak Islam Masuk Ke Tanah Jawa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.