Ini berarti bahwa carok sebagai alternatif tunggal setiap sengketa yang berporos pada pelecehan harga diri, kiranya perlu dipikirkan ulang, karena setiap peristiwa carok justru menimbulkan carok lanjutan dan perasaan dendam yang berkepanjangan. Carok bukan merupakan cara penyelesaian konflik yang efektif, melainkan lebih merupakan proses reproduksi kekerasan, yang akan selalu menimbulkan tindakan kekerasan baru (carok turunan).
Kritik intern ini ingin penulis akhiri dengan sebuah pernyatan: “Carok pada dasarnya merupakan kekurangmampuan para pelaku carok mengekspresikan budi bahasa, karena mereka lebih mengedepankan perilaku agresif secara fisik, untuk menghilangkan nyawa orang yang dianggapnya musuh, sehingga konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi”.
“Carok pada dasarnya juga bukan merupakan simbol kebanggaan (ketika memenangi carok), melainkan simbol keaiban dan kenistaan, karena dengan melakukan carok mereka telah merampas hak hidup seseorang.
Metafisika Substansi Yang Substansionalistik
Penelaahan carok dengan pendekatan metafisika substansi yang relasionalistik justru menjadi “mesin analisis baru”, untuk ikut serta memberikan justifikasi dan legitimasi terhadap tradisi carok, dalam masyarakat Madura. Di samping itu metafisika substansi yang relasionalistik hanya menekankan pada aspek relasi, tetapi mengabaikan aspek otonomi, keunikan dan keberlainan substansi.
Oleh karenanya perlu dihampiri dengan sebuah pendekatan baru, sebagai metafisika tandingan untuk dijadikan referensi pembanding, dalam memaknai tradisi carok. Metafisika tandingan yang penulis maksud adalah mengkaji tradisi carok berdasarkan pendekatan metafisika substansi yang substansionalistik.