Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan pada masyarakat Madura diatur lebih egaliter, lebih terbuka dan jujur, dan lebih adil. Perempuan bekerja di luar rumah adalah hal biasa. Perilaku tersebut bukan barang baru bagi mereka, bagi anak-anak atau pun bagi suami mereka, bahkan bagi masyarakat mereka. Tidak seperti pembagian kerja yang berlaku pada orang Jawa tradisional, yang kaku dan terlalu patuh pada pakem kaidah yang telah dibuat pakem; ibu di rumah, bapak pergi ke sawah, Ibu memasak di dapur, bapak membaca koran. Pembagian kerja tersebut terasa terlatu bias gender. (Baca juga: Wanita Madura, Dimata Laki-laki Madura)
Selain mengemban peran tradisional, perempuan Madura juga bertugas sebagai pencari nafkah. Mereka tampak lebih siap dalam menghadapi kenyataan dan kesulitan hidup di dunia luar. Pernyataan bahwa perempuan itu Iemah dan pasif dalam berperitaku seksual – jika siang jadi thèklèk alas kerja dan malam hanya sekadar berperan sebagai lèmèk alas tidur – tidak berlaku di kalangan perempuan Madura. Mereka justru terlihat tebih perkasa, dan bahkan kadang-kadang lebih perkasa dan laki-laki. Seperti halnya perempuan-perempuan Bali yang banyak bekerja sebagai pengangkat batu dan semen untuk berbagai pekerjaan konstruksi bangunan, perempuan Madura yang bekerja pada sektor informal, jauh tebih aktif dalam bekerja.
Kendati perempuan Indonesia masih berada dalam dilema kolektif antara tradisionalisme dan modernisme, para perempuan Madura telah dapat melepaskan diri dari permasalahan tersebut. Jika kebanyakan perempuan Indonesia senang dengan sebutan ibu rumah tangga atau ikut suami sebagai pengisi kolom pekerjaan dalam kartu penduduknya, tidak demikian bagi kaum perempuan Madura. Perempuan Madura tidak perlu merebut hak-hak utama yang menjadi dasar perjuangan emansipasi karena mereka sudah memilikinya. Dibandingkan dengan perempuan pada umumnya, mereka lebih maju dalam melepaskan belenggu kaum hawa. Dan gambaran tersebut sesungguhnya para perempuan dapat mengerjakan pekerjaan apa pun jika dia mau.
Perempuan Madura mampu mengatasi tekanan yang saring bertumpang-tindih. Meskipun pada kebanyakan perempuan lain jika malam hari mereka harus terhimpit oleh laki-laki, dan siang hari terhimpit oIeh masatah ekonomi yang tidak kunjung selesai, di wilayah pedesaan di Madura justru perempuanlah yang ‘menghimpit’ laki-laki. Adagum aktif-pasif, aktif milik laki-I.aki dan pasif milik perempuan tak bentaku di katangan mereka. Laki-taki dan perempuan sama-sama aktif. Sebutan bahwa perempuan adalah pihak the second sex tak berlaku pada mereka. Para perempuan Madura dapat hidup sebagal perempuan dan laki-laki sekaligus.
Baca juga: Manusia Madura: Pandangan Hidup, Perilaku, dan Etos Kerja
Meskipun tampak lebih egaliter bukan berarti dalam masyarakat Madura tidak ada konvensi tata nilai yang mengatur hubungan kerja antara laki-laki, perempuan, dan anak. Para perempuan Madura tampak lebih bebas dalam bekerja di luar rumah, tetapi mereka harus tetap menjaga martabat keperempuanan mereka. Di balik keegaliteran masyarakat Madura dikenal sebagai komunitas masyarakat yang memiliki karakter yang khas. Salah satu karakter yang terkenal adalah kuatnya membela kehormatan dan harga diri (perempuan).
Harga diri dan kehormatan dianggap sesuatu yang penting. Bahkan, mereka rela bertaruh nyawa dalam membela kehormatan dan harga diri mereka. Di kalangan orang Madura dikenal ungkapan berbunyi “ètèmbhâng potè mata ango’an potè tolang” yang berarti dari pada putih mata, lebih baik putih tulang. Maksud ungkapan tersebut adalah daripada mereka hidup tidak berharga karena harus menanggung malu atau dipermalukan (potè mata) oleh pihak lain, lebih baik mati terbunuh (potè tolang) karena mempertahankan harga diri. Ada beberapa hal yang menyebabkan orang Madura rea mati dan gelap mata karena terusik harga diri mereka. (Baca: Carok: Hak, Harga Diri dan Wanita)
Laki-laki Madura terusik harga dirinya, jika sebagai laki-laki dianggap ta’ lalakè’ atau tidak jantan, baik secara fisik maupun secara psikis. Mereka sangat tersinggung jika sebagal laki-laki dilecehkan atau diragukan harkat kelaki-lakiannya. Sebagai suami mereka sangat tersinggung apabila dianggap tidak dapat memenuhi nafkah lahir dan nafkah batin istri atau pasangan hidup mereka. Banyak kasus telah terjadi, karena istri merasa tidak terpenuhi nafkah batinnya yaitu istri berselingkuh dengan taki-laki lain. Kasus tersebut berakhir dengan kekerasan atau pembunuhan. (Lontar Madura)
Tulisan bersambung: