Patriarki yang Kaku
Orang Madura, utamanya yang masih kolot, menganggap bahwa hubungan lawan jenis merupakan hal yang sangat tabu. Misalnya, untuk melakukan pendekatan kepada seorang perempuan – utamanya yang masih gadis – seorang jejaka harus melakukannya dengan mengikuti aturan atau adat yang telah disepakati, salah satunya melalui pihak pangadâ’ atau perantara.
Orang yang dijadikan perantara biasanya orang yang disegani di daerah tersebut atau setidak-tidaknya yang mempunyai hubungan dekat atau dikenal baik oleh pihak keluarga si gadis. Sebagai perantara, pertama-tama menanyakan kepada orang tua si gadis apakah anak gadisnya sudah ada yang meminang atau belum. Si perantara tidak boleh langsung menyampaikan maksud tersebut, tetapi menanyakannya dengan mengunakan gaya retoris tidak langsung yang disebut dengan istilah anya-tanya atau nyarè kabhâr; bertanya atau mencari kabar.
Perantara tidak langsung menceritakan perjaka yang tertarik pada gadis tersebut, karena jika ternyata si gadis yang ditanyai sudah bertunangan, atau ada perjanjian antar sesama orang tua, maka dengan bertanya secara retoris, lelaki tunangannya itu tidak akan tersinggung. Kalau hal itu terjadi, yang menanyakan tersebut akan disebut sebagai aghudhâ bhâkalla orèng atau menyerobot (mengganggu) calon istri orang lain. Jika hal itu dilakukan akan memunculkan konflik. Apabila si gadis belum ada yang meminang perantara akan melakukan sesuatu yang disebut ngèn-angèn atau menghembuskan angin, artinya menyampaikan maksud bahwa ada perjaka yang tertarik pada gadis tersebut. Jika, si gadis juga tertarik pada perjaka yang disampaikan, pihak perjaka akan melamar gadis itu.
Untuk perempuan yang pernah bertunangan – atau telah pernah beristri dan antara tunangan dan keluarganya dengan orang yang tertarik untuk melamar si gadis saling kenal – sebelum melakukan kegiatan anya-tanya dan ngèn-angèn, terlebih dahulu sang perantara harus menyampaikan atau minta izin kepada tunangan si gadis sebelumnya. Kalau hal itu tidak dilakukan sang pemuda tersebut dianggap melakukan perbuatan yang disebut sebagai nyolet mata (menyulut mata). Perbuatan ini dianggap menghina atau mempermalukan tunangan atau suami sebelumnya yang dapat menimbulkan rasa benci dan dendam. Dua orang berlawanan jenis jika belum bertunangan tidak diperbolehkan untuk bertemu di tempat umum, apalagi di tempat sepi dan bertamu terlalu lama, apa lagi bertamu pada waktu malam hari.
Jika bermaksud menanyakan keadaan istri pertanyaan tidak disampaikan menggunakan pertanyaan langsung, seperti katimat; Bâremma kabhârrâ binina bâ’na? Bagaimana kabar istrimu? Tetapi disampaikan dengan kalimat, Bâremma kabâdâ’ânna kalowargana bâ’na?, Bagaimana kabar keluargamu? Pertanyaan tentang istri atau tunangan hanya diperbolehkan jika istri atau tunangannya tersebut dalam keadaan sakit atau pernah sakit dan yang bertanya pernah menjenguknya.
Menanyakan keadaan istri orang dianggap bentuk perhatian yang berlebihan dan dianggap tidak wajar, oleh karenanya dapat menyinggung perasaan suaminya. Pertanyaan tersebut dianggap bahwa yang bertanya memiliki maksud tertentu yang kurang baik. Bahkan, kadang-kadang dianggap sebagai bentuk penghinaan kepada suami. Kalau melihat istri dalam keadaan sakit, suami tidak akan menceritakan hal itu pada orang lain, tidak boleh menanyakannya.
Bagi mereka keadaan istri merupakan simbol harga diri, artinya, jika istri tampak bahagia dan sehat dianggap bahwa ia adalah seorang suami yang sukses. Sebaliknya, jika istri tampak kurus dan sakit merupakan simbol kegagalan seorang laki-laki sebagai suami. OIeh karena itu, pertanyaan tentang sakitnya seorang istri kepada sang suami dianggap sebagai bentuk penghinaan atau merendahkan harga diri. Pertanyaan tentang istri yang sakit sama dengan ungkapan bahwa ia telah gagal menjalankan tugasnya sebagai suami.
Jika sang suami tidak ada di rumah, tamu diperkenankan masuk rumah jika bersama istri atau orang tua perempuan. Jika sendirian dan terpaksa harus menyampaikan sesuatu, percakapan tidak boleh dilakukan di dalam rumah, tetapi harus di luar rumah. Percakapan tidak dilakukan sambil duduk tetapi dengan berdiri.
Jika sang tamu seorang laki-laki, menunggunya harus di luar rumah. Hubungan laki-laki dan perempuan bukan suami istri adalah hubungan berjarak. Walaupun antara laki-laki dan perempuan mempunyai hubungan kekeluargaan yang dekat, mereka tidak boleh bersikap dan berbicara sangat akrab. Apabila terpaksa harus duduk dan tersedia beberapa tempat duduk tidak dibenarkan duduk dalam satu tempat duduk dalam posisi sejajar. Sedapat mungkin duduk berhadap-hadapan pada tempat duduk yang berbeda dengan pembatas meja.
Datam berkomunikasi kelompok yang melibatkan laki-laki dan perempuan, tidak bisa istri A dekat dengan laki-laki B. Di tempat umum, seperti di bis atau angkutan umum, jika masih terdapat tempat lain yang kosong, seorang laki-taki memilih tempat duduk yang masih kosong, tidak menempati tempat duduk sejajar atau dekat perempuan.