Duduk berjajar dianggap merupakan bentuk godaan yang dapat memicu terjadinya konflik. Jika hal tersebut dilakukan oleh perempuan terhadap Iaki-laki dapat berarti bahwa perempuan tersebut adalah perempuan yang tidak tahu adat. Bahkan, untuk yang sudah bertunangan tetap ditabukan bercakap-cakap atau berjalan berduaan. Pihak orang tua pun akan segera menikahkan anaknya yang sudah bertunangan kalau mereka kelihatan sudah akrab, minimaL dengan cara kawin sirri atau perkawinan kiai.
Jika sudah berkeluarga, meskipun masih bersama orang tua, tidak suka dicampuri urusan keluarga mereka. Suami akan tersinggung jika ada pihak lain, terutama dari pihak keluarga perempuan, mencampuni urusan keluarga mereka. Suami tidak dapat menerima atau tersinggung apabila ada orang yang memarahi istrinya. Sekalipun hal itu dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Koreksi atas sikap, perilaku, dan perkataan istri yang berasal dari pihak lain dapat diterima jika disampaikan kepada suami, karena yang paling berhak mengatur istri adalah suaminya. Tidak ada orang lain, termasuk orang tua, yang berhak mencampuri urusan keluarga.
Untuk menanyaIan pekerjaan atau karir, jenis pekerjaan, berat-ringan, bahkan menanyakan berapa gaji yang diperoleh, dianggap merupakan pertanyaan wajar yang sudah selayaknya ditanyakan, walaupun jawabannya tidak disampaikan dengan terus terang atau terbuka. KaIau merasa tidak puas dengan jawaban yang tidak terbuka, maka berhak memaksa atau mengulangi pertanyaan tersebut. Hal ini tidak dianggap menyinggung perasaan, tetapi dianggap merupakan sebuah ketulusan persahabatan atau persaudaraan. Sebaliknya, jika kita hanya datang danhanya melihat sekilas, akan dicurigai, sikap yang demikian menyinggung perasaan, walaupun tidak sampai dianggap merupakan sikap yang dapat menumbuhkan permusuhan.
Sikap demikian akan dianggap sebagai sikap congkak atau sombong. Kalau hanya melihat dan jauh secara sembunyi-sembunyi, sikap yang demikian akan dianggap sebagai bentuk penghinaan.
Pada umumnya perempuan Madura dapatmenerima kondisi ekonomi keluarga apa adanya, sekalipun dalam keadaan sulit. Mereka biasanya secara ikhlas terlibat langsung mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dalam bentuk kerja apapun.
Perempuan Madura tidak suka, bahkan menganggap direndahkan apabila dijatah belanjanya oleh suami. Mereka tidak suka jika ètanèng atau dijatah uang belanja dalam jumlah tertentu secara teratur oIeh suami tanpa dilibatkan langsung dalam mengelolaan keuangan rumah tangga. Sikap suami menjatah belanja dianggap bahwa suami tidak percaya kepada istri; yang berarti bahwa istri tidak dihargai sebagaimana layaknya istri.
Sekalipun di luar rumah mereka bekerja sebagai buruh atau pembantu rumah tangga, tidak dapat menerima kalau dalam rumah tangga diperlakukan sebagai pembantu. Sikap suami menjatah belanja merupakan salah satu perwujudan anggapan tersebut. Jika suami memperlakukan istri demikian akan direspon banyak menuntut oleh istri. Istri seolah-olah tidak mau tahu masatah kekurangan uang belanja. Yang terjadi kemudian adalah kesaling tidak terbukaan antara istri dan suami. Akibatnya, dapat menimbulkan keretakan keharmonisan rumah tangga mereka. Pada keluarga Madura pengatur ekonomi keluarga adatah pihak istri.
Jika terjadi kegagalan ekonomi ketuarga, padahal penghasilan cukup besar, yang dipersalahkan adalah pihak istri. DaIam pengaturan ekonomi keluarga, bagi masyarakat Madura berlaku adagum yang berbunyi; maskon jhâlâna tegghu mon kerengnga jhurut ta’ kèra bâdâ ollèna, meskipun jalanya kuat atau tangguh, bila keramba ikannya rapuh tidak akan ada hasilnya. Maksudnya, meskipun penghasilannya cukup tetapi pengelolaan ekonomi keluarga tidak diserahkan sepenuhnya kepada istri keluarga tersebut tidak akan berhasil, Ungkapan tersebut menyimbolkan bahwa yang berperan sebagai pencari nafkah adalah suami, sedangkan yang berperan sebagai pengelolaan adalah istri.
Oleh karena itu, apabila oleh suami si istri tidak dipercaya untuk mengelola keuangan keluarga akan berakibat pada tidak harmonisan hubungan keluarga. Bahkan, mungkin akan berujung pada keretakan rumah tangga dan perceraian. Suami yang bertindak demikian dikatakan sebagai lake’ ta’ lalakè’, tapè bâbini’ arobâ lake’, suami yang tidak laki-laki, tetapi perempuan berwajah laki-laki, sedangkan istrinya akan merasa bini’ tape ta’ bini’, perempuan tetapi bukan istri. Hal tersebut berlaku ketika suami juga menangani permasalahan yang seharusnya menjadi tanggung jawab atau kewenangan istri, dan istri merasa tidak diperankan sebagai istri, tetapi diperankan sebagal pembantu.