Farida Nurul Rakhmawati
Di samping itu, dari sisi kesehatan menunjukkan bahwa FGM tidak memberikan efek penting terutama dalam reproduksi perempuan. Pelaksanaan FGM tanpa berkomunikasi terlebih dahulu dengan anak perempuan sebagai korban. Karenanya, praktik FGM meru pakan pelanggaran hak asasi manusia dalam perspektif World Health Organization (WHO). Penelitian kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Sedangkan wawancara dan dokumentasi digunakan sebagai teknik pengumpulan data.
Menurut Zamroni (2011), Sunat perempuan Madura meru pakan bagian dari tradisi dan adat istiadat Madura yang sudah dilakukan secara turun temurun yang dijustifikasi oleh ajaran agama Islâm lokal yang ada di Madura. Nyai, dukun bayi bahkan juga bidan dalam praktiknya mempunyai peran yang sangat penting dalam melanggengkan tradisi sunat perempuan. Sunat perempuan lebih didominasi adat istiadat dan budaya masyarakat Madura daripada agama, meskipun telah dijustifikasi dengan agama. Dasar normatif agama (Islâm) yang dijadikan pegangan oleh orang Madura dalam melakukan sunat perempuan adalah mengikuti hukum sunat laki-laki. Laki-laki wajib melakukan sunat, maka perempuan sebagai pemeluk Islâm juga wajib melakukan sunat.
Sumber hukum pelaksanaan sunat perempuan dalam ajaran agama Islâm yang utama, yaitu AlQur’an maupun Hadits tidak ditemukan dasar hukum yang jelas.
Zamroni (2011) mengungkapkan praktik sunat perempuan Madura dapat digolongkan pada pelanggaran HAM, karena meru pakan suatu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pelaksanaan sunat perempuan Madura apalagi sebagian besar dilaksanakan pada usia balita yang belum bisa diajak berkomunikasi. Hal itu berbeda dengan pelaksanaan sunat laki-laki yang sebagian besar dilaksanakan ketika anak-anak sudah bisa diajak komunikasi atau usia sekolah, sehingga mereka bisa ditanya kesiapannya. Sunat perempuan meskipun termasuk bagian pelanggaran HAM, namun orang Madura tetap melaksanakan ritual sunat perempuan. Tun tutan adat istiadat yang begitu kuat telah mengabaikan praktik kekerasan yang bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia.
Penelitian yang dilakukan Zamroni ini, memperkuat kondisi hasil penelitian yang menyebutkan masih kuatnya budaya patriarki di tengah pola residensi matrilokal di madura. Kuatnya budaya sunat perempuan di madura yang telah dilakukan secara turun temurun ini merupakan hasil konstruksi sosial budaya masyarakat madura.
Masih berkaitan dengan perempuan madura, Farida Nurul (2012) dalam Proceeding The 4th Internasional Graduate Stu dents Conference on Indonesia mengungkapkan kearifan lokal Perempuan Madura yang melekat dalam siklus hidup Perempuan Madura mulai dari fase remaja, menjadi istri, dan merawat rumah tangga. Dalam ke 3 fase tersebut, Kearifan lokal yang ditanamkan nenek moyang sejak dini pada perempuan Madura terkungkung dalam hegemoni budaya partriarki, sehingga Perempuan Madura tidak merasa bahwa semua itu adalah sebuah ketimpangan dan mengakibatkan ketimpangan gender salah satunya adalah kurang tumbuhnya jiwa entrepreneur di jiwa mereka.
Farida (2012) mengungkapkan pembatasan aktivitas aktuali sasi diri dalam bekerja untuk tidak boleh melebihi suami membuat etos kerja tinggi perempuan Madura hanya sekedar terwujud dalam aktivitas membantu suami bekerja berimplikasi pada kurangnya akses dalam pegambilan keputusan khususnya dalam hal per ekonomian keluarga. Padahal potensi ini sangat kuat dimiliki perempuan Madura.
Dalam penelitian ini, farida (2012) berhasil mengungkap bahwa Hegomi budaya patriarki yang melekat pada kearifan lokal Perempuan Madura termanivestasi dalam 3 konsep adhandhen, arembhi’ dan amasak yang harus dilakoni oleh seorang Perempuan Madura. Secara garis besar kearifan lokal Perempuan Madura yang terlihat dalam siklus kehidupannya dalah Perempuan Madura harus bekerja keras, tidak boleh malas, mengabdikan hidupnya untuk keluarga dengan cara merawat diri, merawat keluarga.
Selain itu kearifan local perempuan Madura juga terlihat pada Memanfaatkan kekayaan alam untuk diolah menjadi produk kebu tuhan hidup; Memanfaatkan kekayaan sumber daya manusia Madura untuk menciptakan peluang, usaha dan kesejahteraan kelu arga; Mengadopsi kekayaan alam Madura dan dituangkan dalam karya produk khas Madura yang unik dan menarik; dan Meng adopsi pendidikan agama, formal dan keterampilan sebagai bekal hidup perempuan Madura.
Di sisi lain, farida (2012) mengungkapkan, Perempuan Madu ra dengan karakteristik kerja keras dan etos kerja tinggi yang ditanamkan sejak dini, sebenarnya memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan perekonomian Perempuan Madura dan keluarganya sekaligus menjadi bukti eksistensi keberdaaan diri Perempuan Madura. Namun sayangnya sampai sejauh ini, potensi diri yang dimilki perempuan Madura ini diketahui tidak berjalan maksimal. Hal ini disebabkan segala macam usaha dan kerja keras yang dilakukan perempuan Madura ini bukan didasarkan pada aktualisasi potensi diri tapi sebenarnya lebih pada wujud tangung jawab dan pengabdiannya kepada keluarga. Bekerja keras untuk membantu suami mendapatkan tambahan penghasilan.
Fenomena ini menurut farida (2011) menjadikan potensi diri perempuan madura menjadi tidak terlihat dan makin membuat posisinya termarginalkan sekaligus membuat usaha yang dilakukan perempuan madura hanya sekedar biar laku jual bukan menjadi seorang enterpreneur yang penuh dengan inovasi, kreatifitas dan pengembangan produk.
Di sisi lain penelitian dengan judul perempuan madura pesisir meretas budaya mode produksi patriakat yang diterbitkan di jurnal KARSA ini, memberikan gambaran lain dari kondisi perempuan madura. Menurut achmad mulyadi (2011), perempuan seringkali diidentifikasikan sebagai makhluk kedua. Pendakwaan sejarah (historical-claims) ini diperkuat dengan semakin terfokus nya struktur dalam masyarakat bahwa perempuan selalu dijadikan koncowinking, teman belakang. Di balik itu perempuan adalah realitas kehidupan yang menjadi subordinat dari berbagai kepen tingan, termasuk penafsiran agama yang “dipelintir“ demi kepen tingan sesaat. Perempuan seolah tidak memiliki ruang personal yang asasi untuk mengaktualisasikan kapabilitasnya.
Kondisi berbeda terlihat di perempuan madura pesisisr. Bagi istri-istri nelayan Branta Pesisir Pamekasan Madura, upaya untuk meningkatkan derajat ekonomi dan taraf hidupnyal tidak bisa dipadamkan hanya dengan penafsiran yang sempit, ia hendaknya menjadi bagian dari proses pemberdayaan secara individual dan masyarakat. Tuntutan agar bisa bertahan hidup menyebabkan mereka harus secara sadar dan mandiri terlibat dalam kegiatan publik.
Untuk itu mereka harus membaginya secara adil, darat menjadi wilayah istri dan laut menjadi wilayah suami. Pola pem bagian wilayah kerja ini memunculkan dinamika peran dan relasi suami-istri. Pada suatu saat istri memerankan diri di wilayah publik dan domestik secara bersamaan dan saat yang lain pada waktu istri berperan di wilayah publik, wilayah domestiknya diperankan oleh keluarga dekat (Bapak/Ibu atau keluarga yang lain) saat suami melaut atau bahkan suaminya ketika tidak melaut.
Keterlibatan istri nelayan Branta Pesisir dalam wilyah publik dilatari beberapa faktor, yaitu; faktor derajat ekonomik keluarga diantaranya adalah adanya kesamaan peluang kerja antara suami dan istri, adanya ketersediaan sumberdaya, dan adanya pemahaman yang sama antara suami dan istri tentang tanggungjawab ekonomik keluarga; dan faktor kesadaran mereka untuk meningkatkan taraf hidup keluarga/anak keturunannya