Kuatnya budaya patriarki masyarakat Madura yang menekan perempuan untuk tetap di ruang domistik, seperti budaya kawin muda dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan, termasuk dalam pendidikan, akan lebih tajam jika dilacak dari sini. Kadang ada benarnya juga bila disebut kebudayaan Madura tidak ramah bagi perempuan, namun dari sisi lain makna pendidikan bagi tradisi orang Madura, tidak harus dilakukan secara formal, secara non formal para orang tua telah menjejali ajaran-ajaran melalui bahasa kearifan lokal.
Persoalannya sekarang, dengan makin meningkatnya pertumbuhan peradaban manusia, adakah masyarakat masih mempertahankan satu kondisi sehingga membatasi gerak perempuan. Atau dengan kata lain, sebesar apa posisi perempuan Madura menempati ruang public (public sphere), yang lebih “praktis”, misalnya, hak perempuan (usia sekolah) memperoleh pendidikannya?
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan, Darmaningtyas, (tidak dipublikasikan, 2002), Angka Partisipasi Murni (APM) untuk pendidikan dasar (terutama SLTP) di Madura sangat rendah. Di Sampang, misalnya, APM untuk tingkat SD rata-rata di atas 90%, tapi untuk tingkat SLTP rata-rata masih di bawah 50%. Di Kabupaten Sumenep APM untuk SLTP mencapai 68,87%. Di banding kabupaten lain Sumenep APMnya memang tertinggi.
Pertanyaannya, dalam angka-angka diatas, seberapa besar APM perempuan? Bisa dipastikan bahwa APM perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Sayangnya sampai saat ini belum pihak yang memiliki data yang akurat. Tetapi pada realitasnya — terutama di pedesaan — masih banyak terdapat yang putus sekolah atau tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Menarik membaca hasil penelitian Darmaningtyas tentang harapan orang tua di Madura terhadap anak-anaknya berdasarkan jenis kelamin. Harapan terhadap perempuan, meski ia disekolahkan, tetap bersifat domistifikasi peran, sementara harapan terhadap laki-laki lebih didorong ke peran-peran public atau peran di