Setiap ajaran tampaknya memang harus mengalami reduksi atau penyimpangan dalam pelaksanaannya. Sekalipun secara doktrinal Islam sudah menentukan berbagai hal yang boleh dan yang tidak boleh dalam melakukan resepsi pernikahan, akan tetapi masyarakat muslim tetap melaksanakannya dengan berbagai cara yang sesuai dengan tradisi yang diikutinya sehingga mengalami pergeseran makna. Pergeseran makna walimah dapat kita temukan pada pelaksanaan walimah dalam tradisi masyarakat Madura Rantau, di Pasuruan dan Situbondo.
Dalam penelitian Aminah[1] terhadap masyarakat Madura di Desa Ngemplakrejo, ditemukan adanya sebuah tradisi pelaksanaan walimah yang telah mengalami pergeseran makna. Desa Ngemplakrejo adalah satu desa di Kecamatan Purworejo Kota Malang yang mempunyai penduduk beragama Islam 6035 jiwa, dari jumlah penduduk 6119 jiwa.[2]
Dilihat dari jumlah lulusan perguruan tingginya hingga mencapai 281 dan dengan lulusan SLTA 1556, ditambah lagi dengan banyaknya kelompok majlis taklim yang beranggotakan sekitar 431 orang, mayarakat daerah ini dapat digolongkan dalam masyarakat yang terdidik dan agamis. Sekalipun demikian, dalam kasus pelaksanaan resepsi pernikahan, masyarakat Ngeplakrejo memiliki tradisi yang kurang baik karena ditujukan untuk mendapatkan keuntungan yang besar (profit oriented) melalui kegiatan tok otok yang dikelola Ikatan Payung Madura (IPAMA).
makasi atas infonya