Tradisi yang kurang lebih sama, juga ditemukan pada masyarakat Madura di Desa Curah Kalak Kec. Jangkar Kab. Situbondo, sebagaimana ditemukan dalam hasil penelitian Titik Insyiroh.[3] Pergeseran makna terletak pada tradisi siaran bawaan saat pelaksaan walimah pernikahan. Tradisi menyiarkan barang-barang bawaan para tamu pada pesta pernikhan, bagi masyarakat Madura di Situbondo, merupakan warisan nenek moyang yang semula hanya dengan menyiarkan langsung di hadapan orang banyak tanpa pengeras suara.
Secara historis diyakini tradisi siaran ini merupakan pengembangan dari tradisi nyoghu, yakni tradisi pelaksanaan walimah dimana tamu membawa barang-barang dengan jumlah yang besar untuk dihadiahkan kepada pelaksana. Tradisi nyoghu, membedakan tetamu pada dua golongan, yakni golongan tamu undangan nyoghu dan biasa. Para tamu biasa, hanya datang dengan memberikan uang sebagai bawaannya. Mereka datang dengan tidak terlalu terhormat, tidak ada iring-iringan tatat dan tidak pula disambut dengan ki dalang yang menerangkan besaran bawaannya.
Berbeda dengan tamu itu, para tetamu yang diundang nyoghu akan datang dan dijamu dengan terhormat. Kedatangannya diiringi serombongan tatat, yakni musik tradisional Madura yang terdiri dari terompet dan gendang, agar diketahui banyak masyarakat bahwa dirinya telah membawa segerobak oleh-oleh hingga layak diingat-ingat pengembaliannya.
xx
Sesampai di lokasi aparloh, begitu masyarakat Situbondo menyebut pelaksanaan acara walimah pernikahan ini, tetamu nyoguh disambut dengan tabbuen, yakni hiburan tradisional Madura dengan alat musik tradisional, mirip dengan Ghamelan dalam tradisi Jawa, lengkap dengan nyanyian, tarian dan drama. Seorang dalang kemudian menjemput sang tamu dan menanyakan maksud tujuan kedatangan dan besaran dana yang disumbangkan lalu disiarkan dengan keras melalui sound system. Kian besar bawaannya, maka semakin keras juga teriakan ki dalang dalam menyiarkan bawaan itu, sambil dikuti teriakan masyarakat yang hadir dan bertepuk tangan.
Berbeda dengan tradisi IPAMA, masyarakat tidak dimenamakan aparlo jika dalam pesta pernikahan tidak ada rias pengantin, hiburan dan tidak ada siarannya. Menyiarkan barang bawaan ini menjadi indikator utama dalam tradisi aparlo masyarakat Madura Situbondo, karena nyoghu sebenarnya adalah subangan piutang yang harus dikembalikan. Oleh sebab itu, setiap sumbangan nyoghu kemudian dibaeri tanda, mereka menyebutnya keter, K (untuk mengembalian) dan B (untuk piutang baru).
Tradisi siaran bawaan ini telah mempertegas kelas ekonomi masyarakat Madura Situbondo. Kalangan elit dengan nilai soghuen yang besar, menunjukkan pada puluhan hektar sawah dan berpuluh-puluh sapi yang dimilikinya, dan pasti sudah bergelar Aba Haji atau Ibuk Hajjah. Tradisi ini juga menyumbangkan persaingan antarelit ekonomi masyarakat Madura, karena dalam pelaksanaan aparlo juga terjadi “perang” persaingan bawaan, penampilan, dan perhiasan yang mewah. Kondisi ini, pada akhirnya menimbulkan rasa iri hati dan cemburu sosial bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang tidak mampu nyoghu.
makasi atas infonya