Mahwi Air Tawar
Dalam sebuah perjamuan seorang teman melontarkan anekdot perihal “cita-cita” orang Madura. Apakah cita-cita itu? Pertama naik haji, dan, kedua menjadi penyair! Sontak kami yang mendengarnya tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.
Apa yang disampaikan teman yang juga penyair itu tak sepenuhnya salah bila ditinjau dari sudat pandang agama yang diyakini masyarakat Madura, yang rata-rata beragama islam, di mana dalam rukun islam, naik haji adalah bagian dari rukun wajib yang harus ditunaikan bagi yang mampu baik dhahir maupun batin.
Lalu bagaimana dengan cita-cita orang Madura yang ingin menjadi penyair, yang tidak dianjurkan dalam agama dan kepercayaan apa pun? Orang Madura mempunyai tradisi seni dan sastra tulis yang dapat dibanggakan, kendati naskah-naskah Madura itu sekarang sukar ditemukan lagi di daerah asalnya. Dalam benerapa literatur ditulis, termasuk oleh Abdul Hadi WM, bahwa sastra tulis yang berkembang di daerah Madura merupakan warisan peradaban Hindu dan Islam, dan memiliki keterjalinan dengan tradisi sastra Nusantara di luarnya khususnya Jawa dan Melayu.
Maka tak heran bila syi’iran, saloka tidak hanya berkembang di kalangan pesantren, tetapi juga terus berdenyut dalam nadi pelaut teguh Madura, abantal omba’ asapo’ angin (berbantal ombak berslimut angin), misalnya, adalah saloka atau pribahasa Madura yang menggambarkan kehidupan pelaut yang sepanjang hidupnya nyaris dihabiskan di tengah lautan.
Demikian juga dengan masyarakat Madura pedalaman, selain syi’iran yang terus disenandungkan di langgar-langgar dan pesantren-pesantren, dan di rumah-rumah tradisi sastra lisan juga terjaga dengan baik, paparegan (pantun), misalnya.
Terrona tong-metonga angka (Ingin rasanya berhitung angka)
dari settong sampe’ saratos (Dari angka satu sampai seratus)
Terrona along-polonga ban dika (Ingin rasanya berjumpa)
Dika settong teros e antos (Dirimu seorang ditunggu terus)
Berbeda dengan paparegan yang kini tak terdengar lagi gemanya, syi’iran terus disenandungkan di pesantren-pesantren, di Madura, sehingga dengan begitu, tradisi syi’iran akan terus berdenyut, dan puisi akan terus ditulis. Tidak heran bila sampai sekarang, setidak-setidaknya, menurut pengakuan sejumlah redaktur budaya koran yang setiap minggunya kiriman cerpen dan puisi selalu dipenuhi oleh karya-karya dari penulis Madura. Dengan begitu, bisa dipahami anekdot “cita-cita orang Madura ingin menjadi penyair” adakalanya benar adanya dan tak sepenuhnya salah.
Barangkali, atas alasan itu juga komunitas Reboeng, Jakarta, turut mengapresiasi dan menerbitkan sejumlah karya-karya puisi penyair muda Madura, dalam buku Ketam Ladam Rumah Ingatan, yang diluncurkan pada hari Sabtu tanggal 20 Februari 2016, oleh komunitas Reboeng, Jakarta. Acara yang akan dilangsungkan di Pendopo, Sumenep tersebut mendatangkan nara sumber Jamal D. Rahman dan M. Faizi. Selain diskusi acara ini dimeriahkan dengan pembacaan puisi dari sejumlah penyair Madura.
Jakarta-Surabaya-Madura, Februari, 2016