Perkawinan Ratu Tirtonegoro dengan Bindara Saod

Terjadinya peristiwa tragis tersebut maka keluarga kerajaan Sumenep menjadi dua golongan yang berpihak pada Ratu Tirtonegoro diperbolehkan tetap tinggal di Sumenep dan diwajibkan merubah gelarnya dengan sebutan Kyai serta berjanji untuk tidak akan menentang Bindara Saod sampai tujuh turunan. Sedang golongan yang tidak setuju pada ketentuan tersebut dianjurkan meninggalkan kerajaan Sumenep dan kembali ke Pamekasan, Sampang atau Bangkalan.

Selanjutnya pada tanggal 30 April 1752 Bindara Saod dangkat menjadi Bupati Sumenep oleh Gouverneur Generaal Baron van lmhoff Pemerintahan Kolonial Belanda di Semarang, dengan gelar Raden Tumenggung Tirtonegoro. Dan Bindara Saod juga minta pada Gouverneur Generaal agar sepeninggalnya kelak bisa digantikan putranya yang bernama Asiruddin, hal tersebut dikabulkan. Pengangkatan Bindara Saod sebagai Bupati Sumenep dibebani dengan dua macam pungutan oleh Pemerintah Kolonial Belanda atau V.O.C.

Yang pertama adalah contigenten, semacam jatah pungutan upeti berupa hasil bumi yang wajib diserahkan kepada V.O.C. tanpa penggantian apa – apa. Yang kedua yaitu verplichte leveranties berupa pemasukan wajib hasil bumi berdasarkan perjanjian yang harganya ditentukan oleh V.O.C. Dalam kontrak pengangkatan Bindara Saud sebagai Bupati tercantum, bahwa Sumenep diharuskan setor sejumlah 30 pikul (30 X 60 kg) gula siwalan, 80 koyan (80 X 30 pikul) kacang hijau, 700 takar (700 X 75 liter) minyak kelapa, 30 pikul dendeng sapi, 1000 ekor ikan bambangan (kakap merah / kering) dan 20 pikul benang kapas halus. Hal mana sangat berat beban rakyat, karena kala itu pemerintahan Sumenep akan memungut pajak ganda kepada rakyat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.