Adanya perbedaan pemahaman antara para kiai (keyae) dan sesepuh masyarakat tentang kepercayaan terhadap mitos perkawinan Salēp Tarjhâ tersebut pada akhirnya berimplikasi pada terkotaknya masyarakat ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu: Golongan pertama, sebagian dari masyarakat memahami bahwa perkawinan Salēp Tarjhâ itu adalah sesuatu yang harus dihindari dan tidak boleh dilakukan karena sudah menjadi sebuah keyakinan bahwa perkawinan tersebut dapat mendatangkan malapetaka atau musibah bagi siapa saja yang tetap melakukannya. Golongan kedua, sebagian dari masyarakat “setengah-setengah” antara percaya dan tidak percaya atau “ragu-ragu” terhadap mitos perkawinan Salēp Tarjhâ tersebut. Golongan ketiga, sebagian dari masyarakat tidak percaya dan bahkan tidak yakin sama sekali terhadap mitos perkawinan Salēp Tarjhâ tersebut karena menurut pemahaman mereka keyakinan terhadap mitos-mitos sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Tampak sangat jelas bahwa ulama/kiai berusaha untuk mempertahankan “doktrin agama” yang diyakininya, sedangkan sesepuh masyarakat berusaha untuk mempertahankan “doktrin budaya” yang diwarisinya dari nenek moyang (bengaseppo) mereka secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sungguhpun masyarakat Madura merupakan masyarakat agamis ternyata dalam kehidupannya masih ada beberapa orang yang sangat sulit untuk meninggalkan tradisi-tradisi dan adat-istiadat yang diwarisi secara turun-temurun dari para leluhur/nenek moyang mereka.