[junkie-alert style=”red”]
Suwandi
Pada saat menjelang kemelut antara Gresik dan Madura, Bupati Kasepuhan Gresik bernama Joyonegoro (1732-1748) sedang menghadiri undangan di Kraton Mataram Islam dengan anggota rombongan yang cukup besar. Kondisi ini dimanfaatkan oleh penguasa Madura yang bernama Cakraningrat IV untuk menduduki Gresik pada tahun 1738 M dengan mengerahkan tentara yang dipimpin oleh Demang Dewa Raga serta menumpang perahu pada malam hari mendarat di pelabuhan Gresik menuju kota berhasil menduduki pendopo kabupaten Gresik dan menjarah segala yang ada didalam pendopo termasuk istri-istri bupati dan anak Bupati Joyonegoro yang diboyong ke Madura.[/junkie-alert]
Selanjutnya Demang Dewa Raga menyatakan dirinya sebagai penguasa Gresik atas nama Cakraningrat IV maka para sentono (abdi dalem) kabupaten Gresik dipaksa cukur rambutnya dan memakai pakaian adat Madura sebagai tanda tunduk patuh termasuk Kyai Ngabei Puspodirjo, Kyai Ngabei Murtorejo, Kyai Ngabei Surodirjo, Kyai Ngebei Joyodirjo dan Demang Mertojoyo.
Mendengar wilayah kekuasaanya dikuasai oleh orang Madura, maka Bupati Joyonegoro segera kembali ke Gresik bersama Bupati Ponorogo Adipati Suradiningrat, waktu itu Bupati Ponorogo yang juga berada di ibukota Kerajaan Mataram Islam merasa simpati dan memberi bala bantuan tentara pada Gresik, akhirnya sampailah rombongan bupati termasuk para pejabat kabupaten Kyai Ngabei Suronegoro, Kyai NgabeiAstronegoro, Kyai Ngabei Wirodirjo, Kyai Ngabei Ronggopuspoarjo, Kyai Ngabei Yudonegoro, Kyai Ngabei Ronggopuspowijoyo, Kyai Ngabei Puspotaruno sampai di Kedungsekar (atau Dusun Sekaran). Selanjutnya rombongan menyusun kekuatan dengan membentuk benteng pertahanan di Dusun Ngabetan.