Ingwuri Handayani
orang Madura yang bertemperamen tinggi, agresif, cepat marah dan berani, seperti yang dituturkan Si penjaga kepada antropolog asal Belanda itu terus melekat hingga kini. “Stereotip ini, benar atau tidak, sering memberikan kesan menakutkan kepada orang luar, baik orang Indonesia maupun orang asing,” tulis De Jonge dalam kata pengantar buku Agama, Kebudayaan dan Ekonomi.
Stereotip itu pula yang membuat peneliti, entah Indonesianis maupun peneliti Indonesia, lebih memilih melakukan penelitian di lingkungan lain yang lebih menarik. Tetapi, mungkin, karena kondisi geografis yang tidak sesubur Jawa yang peningkatan jumlah penduduknya tak sebanding dengan naiknya pertumbuhan ekonomi, membuat orang Madura harus bertahan dengan cara yang bagi orang luar terkesan menakutkan.Tak hanya orang luar, “Putra Madura” sendiri pun terkadang mengamini stereotip ini. Simak saja saat Latief Wiyata mewawancarai salah seorang mantan pelaku carok.
Di tengah-tengah wawancara, sang narasumber yang juga mantan blater itu tiba-tiba menempelkan bara api rokoknya ke telapak tangan Latief hingga melepuh. Sebaliknya pria itu justru memperlihatkan telapak tangannya yang sama sekali tak mempan oleh sentuhan bara api. Tak hanya itu, ia juga menggores tangannya dengan sebilah clurit tajam tanpa sedikitpun goresan luka. Barangkali dari lukisan itu Latief tak bermaksud menggeneralisasi karakter orang Madura, tapi lantaran pilihan narasumbernya yang mantan carok membuat kesan-kesan semacam itu semakin memperkuat jati diri orang Madura yang keras dan kasar.Toh begitu, hasil penelitiannya tidak sia-sia, maka, dengan segala cerita yang sempat dialami Latief, lahirlah buku Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.