A. Dardiri Zubairi
Orang Madura perantauan dikenal oleh orang luar memiliki solidaritas yang sangat kuat. Orang Madura biasanya membangun pemukiman bersama dan cenderung berkelompok. Fakta ini terkadang menimbulkan penafsiran, seolah orang Madura ekslusif dan enggan berdampingan dengan etnis lain.
Pada hal fakta seperti ini bukanlah khas etnis tertentu. Etnis lain melakukan kecenderungan sama, cenderung berkelompok atas dasar etnisnya. Ketika saya kuliah di pinggiran Jakarta dulu, saya hampir 2 tahun kos di sebuah perkampungan yang oleh orang Bbetawi disebut “kampung jawa”. Di kampung ini 99% penduduknya dari Jawa—utamanya Jawa Tengah.
Dibanyak tempat di negeri ini kita sering menemui nama perkampungan pacinan, perkampungan yang dihuni etnis tiongha. Atau ‘kampung Arab’ karena dihuni oleh mayoritas ras arab. Jadi etnisitas sesuatu yang alamiah, wajar, dan terjadi dimana saja dan oleh siapa saja.
“Pettong Popo”
Solidaritas yang kuat pada orang Madura (perantauan) akan gagal jika hanya dilihat pada pemukimannya yang cenderung berkelompok atau reaksi spontan orang Madura ketika membantu salah satu warganya yang butuh pertolongan.
Ada satu penjelasan budaya kenapa orang Madura kuat solidaritasnya. Salah satunya bisa dilacak pada system kekerabatannya yaitu, pettong popo (secara harfiah bermakna tujuh pupu). Jadi, di Madura dikenal istilah sepupu, dua pupu, tiga pupu dan begitu seterusnya hingga tujuh pupu. Selama ada pertalian saudara, meski tujuh pupu sekalipun, orang Madura masih mengangapnya sebagai saudara “dekat”.
Karena begitu “luas” dan “jauhnya” system kekerabatan orang Madura, sangat biasa orang Madura menulis silsilah (system kekerabatannya) dalam sebuah buku silsilah. Ini dimaksudkan agar silsilah itu tidak hilang dan yang penting, bisa diwariskan dari generasi ke generasi.
Di samping menulis buku silsilah, kekerabatan itu juga dijaga melalui pertemuan keluarga yang sering diadakan paska lebaran Idul Fitri. Bahkan di daerah saya ada yang melakukannya setiap bulan. Dalam pertemuan keluarga ini semua anggota keluarga diajak untuk diperkenalkan, diakrabkan, dan didekatkan dengan angggota keluarga lainnya.
Pada hari-hari biasa silaturrahim antar keluarga sering dilakukan. Biasanya ini dimulai dengan keluarga dekat, agak dekat, dan kemudian yang jauh. Bahkan bagi orang Madura yang menjaga betul kekerabatannya, saudara itu “dicari” dan setelah ketemu dikunjungi, meski tempat tinggalnya di Jawa sekalipun. Ini biasanya berlaku bagi saudara yang dari sudut kekerabatan sangat jauh, pettong popo bahkan lebih.
Pettong popo bagi orang Madura bukan kekerabatan final. Itu sekedar penanda untuk lebih mudah mengingat. Karena bagi orang Madura bhele reya tada’ popona (saudara itu tidak bisa dibatasi sepupuh hingga tujuh pupu). Selama ia saudara dan jelas bisa dilacak dalam system kekerabatan orang Madura, ia tetaplah saudara.
Makanya, saudara –meski dari kekerabatan sangat jauh sekalipun— bagi orang Madura harus dicari. Kalau sudah ketemu wajib dikunjungi. Kalau tidak ada waktu berkunjung minimal diakui sebagai saudara dan dido’akan. Kalau sama sekali tidak melakukan apa pun, bagi orang Madura itu dimaknai memutus tali persaudaraan. Dan memutus tali persaudaraan hukumnya dosa.
Dalam melakukan silaturrahim kepada saudara biasanya orang Madura abegiba (membawa “oleh-oleh”). Oleh-oleh ini tidak selalu dalam bentuk makanan ringan, tetapi juga bisa beras, gula, kopi bijian, dsb. Bahkan tak jarang bagi saudaranya di Jawa, orang Madura membawa ayam kampung meski harus naik bis. Ayam ini bukan untuk disembelih, tetapi harapannya agar dipiara oleh saudaranya sebagai tali persaudaraan.
Madura Perantauan
Jika dipahami dari sudut kebudayaan, kuatnya solidaritas orang Madura perantauan sangat wajar. Bisa dipastikan orang Madura yang hidup secara berkelompok memiliki pertalian persaudaraan.
Tidak arif jika kecenderungan berkelompok berdasar etnis ini kemudian dipahami sebagai keengganan orang Madura melakukan interaksi dengan kelompok lain. Di berbagai tempat, orang Madura secara cepat bisa berapdatasi. Jika merantau ke Jawa, orang Madura dengan mudah bisa menguasai bahasa Jawa. Demikian pula yang merantau ke Bali, Kalimantan, Jawa Barat, dsb. Mustahil bukan, jika mereka enggan berinteraksi akan menguasai bahasa lokal?
Indonesia adalah bangsa yang ditakdirkan oleh Tuhan memiliki keragaman etnis. Etnisitas membutuhkan ruang untuk berekspresi, tentu dengan menghormati etnis lain. Sangat tidak elok jika menghakimi etnisitas seseorang dengan stereotipe yang cenderung mengeneralisasi. Pemahaman terhadap budaya bangsa lain menjadi keharusan agar kita membaca etnisitas dengan lebih adil.
Sayang, kadang orang sok modern memandang etnisitas begitu nyinyir. Seolah etnisitas harus dipetieskan dari dinamika kehidupan kita. Etnisitas dianggap duri yang akan menjadi penghalang bagi proses demokrasi. Dalam teori social impor, solidaritas etnis yang guyub selalu diposisikan kalah kelas dengan solidaritas patembayan yang lebih seksi dan rasional.
(Rampak Naong)