[junkie-alert style=”yellow”]
Tidak seperti pondok pesantren pada umumnya, ada kisah menarik di masa kepengasuhan Raden Bagus Hasan. Seperti yang diceritakan oleh salah satu pengasuh pondok pesantren Loteng saat ini, Raden Bagus Ali Rahmat, pada waktu itu tidak semua orang bisa mondok di pesantren Loteng dalam waktu yang bersamaan. Pasalnya, Gus Hasan hanya membatasi santrinya dalam jumlah sepuluh orang. Baru ketika di antara yang sepuluh itu ada yang berhenti, maka calon santri baru bisa masuk, namun tetap bilangannya sepuluh, tidak bisa lebih. [/junkie-alert]
“Dulu, kalau ada yang masuk lebih dari sepuluh biasanya santri yang kesebelas atau lebih itu menjadi gila,” kata Gus Ali pada Mata Sumenep.
Hal itu juga dibenarkan oleh Raden Bagus Fahrurrazi, salah satu kerabat dekat keluarga pesantren Loteng. Menurutnya, hal itu menunjukkan tingkat kesufian pengasuh awal ponpes Loteng. “Artinya tidak berambisi memperbanyak santri. Ini seperti halnya Raden Ario Atmowijoyo (al-’arifbillah Abdul Ghani bin ‘Ashim bin Sultan ‘Abdurrahman) yang dulu hanya membatasi santri sebanyak lima orang,” tambahnya.
Kejadian tersebut mengingatkan pada kasus yang terjadi di jaman ini. Dulu, dari cerita salah satu santri alumnus Pondok Pesantren Darullughah wad Da’wah Bangil, almarhum Kiyai Yasin Ramdhani bin Hasanuddin bin Kiyai Raden Wongsoleksono, ia mengatakan bahwa almarhum Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki Mekkah juga membatasi santrinya hanya dalam bilangan seratus orang. “Dari kisah yang saya dengar, katanya itu petunjuk langsung dari Rasulullah SAW. Jadi Sayyid Muhammad baru bisa menerima murid lagi jika ada murid lama yang berhenti,” kata Yasin Ramdhani waktu itu.