M. Mas’ud Adnan
Tiga orang asal Madura ditangkap polisi Malaysia. Mereka dianggap bersalah karena menangkap ikan di perairan Negeri Jiran tersebut. Para nelayan itu kemudian disel.
Ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkunjung ke Malaysia, dia nyambangi mereka di tahanan. Maka, terjadilah dialog.
“Gimana, sampean kok sampai melanggar peraturan. Kan nggak boleh menangkap ikan milik pemerintah Malaysia. Itu kan sama dengan mencuri,” kata Gus Dur yang mantan ketua umum PB NU tiga periode itu.
Lalu apa jawab si Madura?
“Lho, Gus, saya tak mencuri ikan milik pemerintah Malaysia. Ikan yang saya tangkap itu saya kejar dan perairan Madura,” katanya.
Anekdot itu diungkapkan Dirjen Pembinaan dan Pengembangan Masyarakat Kawasan Transmigrasi Depnakertrans Djoko Sidik Pramono di depan ribuan orang di Pesantren Nurussalam asuhan Prof Dr KH KRMHT Noer Nasroh Hadiningrat Gomang, Laju Lor Singgahan, Tuban, belum lama ini.
Bisa jadi anekdot tersebut diadaptasi dari konflik nelayan Sumenep dan Pamekasan, Madura, yang kasusnya pernah dilimpahkan ke pengadilan.
Namun, dari manapun sumbernya, anekdot itu tampak lugu, konyol, lugas, tapi cerdas. Memang itulah ciri khas kebanyakan anekdot Madura.
Yang menarik, belakangan ini anekdot-anekdot asal Madura tersebut makin populer di kota-kota besar, termasuk Surabaya. Perusahaan-perusahaan besar seperti bank dan teknologi informasi kini banyak yang memanfaatkan bahasa dan anekdot Madura sebagai materi iklan.
Para tokoh politik, budayawan, dan ulama juga sering mengutip anekdot-anekdot dan bahasa Madura, tentu dengan logat dan mtonasi khas Madura yang medok.
Budayawan sampai Presiden
Fenomena bahasa dan anekdot Madura makin populer tidak hanya di kota besar seperti Surabaya, tapi merambah secara nasional. Budayawan seperti Emha Ainun Nadjib atau tokoh sekelas mantan presiden B.J. Habibie dan Gus Dur kadang mengutip anekdot dari bahasa Madura. Belum lagi para menteri dan pejabat tinggi yang sering melontarkan joke-joke kultural Madura seperti saya kutip pada awal tulisan ini.
Yang paling banyak tentu para pelawak, baik tingkat nasional maupun regional. Mereka memanfaatkan bahasa dan anekdot Madura sebagai komoditas lawakan, meski terkesan dipaksakan. Malah, banyak pelawak yang kemudian ber-trademark Madura, seperti Kadir dan Marlena. Mereka populer karena berkah (untuk tak menyebut mengeksploitasi) bahasa dan anekdot Madura. Padahal, mereka bukan asli orang Madura.
Fenomena bahasa dan anekdot Madura yang makin populer itu tentu positif. Sebab, tak semua bahasa daerah bisa ngetop secara nasional seperti bahasa Madura. Tapi, kadang kesan konyolnya yang lebih ditonjolkan. Padahal, di balik kekonyolan itu, tersimpan kecerdasan logika, terutama secara kultural.
Seperti kita pahami, sesuai watak kulturalnya, orang Madura tak gampang menyerah, meski sudah terpojok dan kalah. Kasus Gus Dur dan nelayan di atas adalah contoh nyata. Meski bersalah, mereka masih berkilah.
Iklan Merusak Pakem
Selain kekonyolan yang sering ditonjolkan, banyak bahasa Madura yang tak sesuai dengan kaidah dan realitas bahasa Madura. Itu banyak kita temui terutama pada materi iklan dan bahan lawakan. Salah satu contohnya ikian sebuah bank di radio. Dalam ikian tersebut, seorang wanita bilang, “Yang ti – pasti ….” Padahal, dalam bahasa Madura, tak ada pengulangan satu kata tanpa penguatan makna. Yang lazim justru pengulangan tak sempurna terhadap kata ulang. Misalnya, gado-gado dalam bahasa Madura jadi do-gado, kanak-kanak jadi nak-kanak dan seterusnya. Jadi, terjadi proses reduksi terhadap kata ulang.
Para pelawak dan aktor iklan berbahasa Madura juga sering melafalkan istilah-istilah Madura secara tak pas. Misalnya, tak iyah dilafalkan tak iya (tanpa h). Konsekuensinya, terdengar hambar, selain cenderung merusak pakem bahasa Madura.
Yang juga perlu dipahami, tak semua kata diakhiri tak iyah. Sebab, istilah tak iyah merupakan penguatan dalam aksentuasi yang secara tak langsung meminta persetujuan lawan bicara. Tapi, dalam dialog materi iklan atau lawakan, hampir setiap akhir pembicaraan ditambahi tak iyah. Akibatnya, baik secara logika maupun leksikal jadi rancu.
Demikianlah, baik para pelawak maupun perancang materi ikian sering memanfaatkan bahasa Madura secara tak benar. Orientasi mereka -baik ikian maupun lawak- bersifat ekonomi, bukan kultural. Akibatnya, bahasa dan anekdot Madura berkembang secara tak wajar.
Nah, bertolak dan realitas di atas, tampaknya para budayawan dan tokoh Madura perlu punya apresiasi lebih tinggi terhadap kultur dan bahasa Madura. Artinya, perlu kemampuan public relations simpatik urituk menyosialisasikan bahasa dan kultur Madura secara benar dan cerdas. Dengan demikian, kultur Madura yang mengandung nilai-nilai luhur -terutama dalam konteks kepemimpinan, hubungan sosial, dan kebangsaan-teraktualisasi secara proporsional. Misal, falsafah Madura yang menekankan pentingnya menghormati orang tua, guru, dan pemimpin. Nilai-nilai luhur itu perlu diinternalisasi dan disosialisasikan secara maksimal agar substansi kultural Madura bisa dipahami secara benar oleh masyarakat luas. Itu penting. Sebab, jika kecenderungan negatif yang justru berkembang -pemanfaatan bahasa Madura secara tak benar- tak mustahil orang Madura akan terus-menerus jadi bahan tertawaan konyol. Wallahu a’lam bisshawab.
Disalin dari buku “Sunan Gus Dur Akrobat Politik ala Nabi Khidir”, M. Mas’ud Adnan, Harian Bangsa/2011