Rentetan persoalan yang demikian menguat sebagaimana terjadi dalam bahasa-bahasa etnik di Nusantara ini tampaknya semakin rumit dan penuh tanda tanya. Banyak halharus dibenahi, bagaimana usaha-usaha untuk mengembalikan bahasa dan sastra daerah sebagai wilayah kebudayaan yang selama ini mulai tersudut dalam keterasingan, sehingga kehawatiran yang nantinya bahasa dan sastra daerah akan hilang dari peredaran wajib kita utuhkan kembali, sebagaimana harapan bangsa dan etnik daerah masing-masing
Bagaimana dengan Bahasa dan Sastra Madura?
Sebagaimana suku atau etnik lainnya, bahasa dan sastra Madura tampaknya mengalami hal yang sama. Bahasa dan sastra Madura yang konon memiliki ciri dan keunikan tersendiri itu, akhirnya harus mengalami nasib yang sama sebagaimana terjadi pada nasib bahasa daerah lainnya. Padahal banyak kalangan terkagum-kagung ketika mendengarkan dialog antara orang Madura dengan menggunakan bahasa ibunya. Ada sesuatu yang menarik, yang pekat dengan ciri dan warna khas, yaitu Madura. Apalagi ketika ungkapan-ungkapan kias yang disampaikan penutur dengan bahasa puitis, begitu indahnya hati dan telinga mendengarkannya.
Dalam kecirikhasan itulah bahasa Madura bagi pemakainya merasa ada suatu kekuatan dan memberi keyakinan diri bahwa setiap pengucapan dalam bahasa Madura selalu bergantung dan berpadu dengan budaya Madura. Namun demikian, ketika kebudayaan Madura (baca: budaya dan tradisi Madura) mulai surut dari kebutuhan masyarakat, maka bahasa dan sastra Madurapun ikut terombang-ombing oleh perlakuan yang sama. Keterombang-ambingan bahasa, sastra dan budaya Madura telah demikian mengerucut menjadi satu ujung yang bisa jadi pada saatnya nanti akan menancapkan dan melukai bumi Madura.
Dalam kasus ini yang kerap menjadi tersangka, yaitu makin menguatnya arus informasi dan komunikasi yang menjelajah di tengah-tengah masyarakat Madura. Hal ini bukan hanya menimpa masyarakat perkotaan, masyarakat pedesaanpun yang seharusnya menjadi benteng terakhir kekuataan bahasa, sastra dan budaya Madura, sedikit demi sedikit mulai terkikis oleh dahsyatnya arus globalisasi yang secara serempak bersentuhan dengan maraknya “budaya baru”, yaitu budaya instan yang dibangun oleh kekuatan media.
Apologi masyarakat tentang persoalan ini mulai mengembangkan pemikiran-pemikiran baru untuk sekedar mempertanyakan dan mempersoalkan apa menjadi penyebab. Ada sementara pihak mencari solusi melalui pendekatan-pendekatan apresiatif, dan sementara pihak lain membiarkan begitu saja, yang menurut mereka “biarkan globalisasi berjalan secara alami, karena bahasa Madura (termasuk sastra dan budaya Madura) tidak penting lagi memiliki tempat tinggal”.
Biasanya ketika berhadapan dengan kondisi seperti itu, ujung-ujunganya harus ada pihak yang dikorbankan; yaitu kebijakan pemerintah yang mandul dalam memperhatikan persoalan tersebut, karena dibanding persoalan perut dan kekuasaan (baca: ekonomi dan politik), bahasa, sastra dan budaya Madura dianggap sebagai sesuatu yang “tidak” menjanjikan peringkat daerah untuk mendatangkan penghargaan atau prestise. Benar atau salah praduga ini, namun senyatanya hingga saat ini pemerintah daerah di Madura masih sibuk mengelola persoalan diluar persoalan bahasa, sastra dan budaya Madura.
Banyak pihak menengarai, sulit memberikan kemungkinan mengembangkan bahasa dan sastra Madura tanpa melalui kebijakan politik. Kalaupun terjadi hanya sebatas usaha yang kadang berjalan terengah-engah. Di Pamekasan ada Pekem Maddhu, di Sumenep ada Tim Nabara (yang satu ini tampaknya mulai mati suri), di Sampang dan Bangkalan berharap jauh lebih dahsyat lagi memberikan kemungkinan penjelajahan dalam pelestarian dan pengembangan bahasa dan sastra Madura.