Puisi-puisi ritual yang digunakan untuk memohon hujan, selamatan laut, menolak bala, dan kepentingan lainnya, terdapat di desa-desa terpencil atau di tepi pantai. Jenis puisi ini digunakan dalam upacara pantil, cahhe’, ratep,dan pojiyan.
Pada pantil ada syair Kuwatallah, Potre Koneng, dan lain-lain yang kebanyakan syairnya ditekankan pada kekuatan bunyi yang diulang-ulang yang bisa menimbulkan kekhusyukan dan bahkan trance. Tidak banyak berbeda dengan pantil ialah pojiyan yang sebagian syairnya tidak punya arti dan mengandalkan kemerduan irama dan kekuatan bunyi yang musikal. Pojiyan artinya pujian kepada Yang Maha Kuasa. Kemungkinan besar syair-syair ini berasal dari zaman ratusan tahun yang silam, ketika manusia begitu akrab dengan alam. Irama alam yang kadang-kadang keras dan kadang-kadang lembut, terpancar memadu dengan irama jiwa yang ingin membubung naik ke alam Nun Jauh di Sana. Contoh dari syair Sodhir Sonar :
Dhari dhilang sonar sondhing adhung ana’ etemanga
atau dari Lentang Sandhurandhing:
Leya rentang sandhurandhing dhing dhing dhing
Adhu rentang sandhurandhing
ada lagi yang berbunyi:
liya lilli ta’ liya lingsir
Dari contoh-contoh di atas bisa dinilai betapa pentingnya aspek bunyi pada syair-syair Madura lama, sehingga intensitas pencarian bunyi yang ritmis membuat syair-syair itu bisa menggantikan gamelan atau alat musik yang lain. Sementara ada yang berpendapat bahwa syair-syair itu termasuk seni primitif, karena sangat sulitnya alat-alat musik pada zaman dahulu kala. Akan tetapi keaslian syair-syair itu diduga keras telah mengalami beberapa perubahan dan penambahan-penambahan mengingat ada sebagian kata-kata Arab yang masuk di dalamnya.
Pojiyan sekarang sudah sangat jarang ditembangkan. Atas saran Slamet Abd. Sukur, penulis pernah mencoba merevitalisasi irama pojiyan dengan bentuk baru untuk mengiringi puisi Indonesia moderen yang punya setting alam Madura.
Ada 10 orang sejak tahun 1995 berlatih “musik mulut” yang dikembangkan dari pojiyan itu. Di tengah irama musik mulut itu dibacakan sebuah puisi. Ketika puisi dibacakan, suara musik mulut mulai melemah. Karena antara puisi dengan musik mulut itu punya latar belakang warna local yang sama, maka iringan musik mulut itu sangat menunjang kehadiran puisi.
Musik Mulut hasil revitalisasi itu pernah pentas di Taman Budaya Surakarta, di Universitas Ahmad Dahlan, mengikuti Asambel Musik Internasional di gedung Purna Budaya, Yogyakarta, dan di gedung BPPT, Jakarta, dan lain-lain.
Betapa memukau kebudayaan moyang saya. Selama ini yang banyak saya pelajari kebanyakan budaya Jawa karena ibu saya Jawa. Tapi ibu saya juga memperkenalkan lagu lagu Madura pada saya. Ternyata ayah saya juga masih ada darah keluarga keraton Sembilangan dari pihak ibu atau mbah putri saya. Saya mencoba mendokumentasikan darah Madura yang mengalir pada saya dalam bentuk puisi. Semoga budaya Madura tetap eksis walau ditelan Revolusi Industri 4.0.