Dalam suratnya kepada Susuhunan Amangkurat II, Trunojoyo menyampaikan bahwa Mahkota Majapahit yang dimenangkannya dalam peperangan akan diserahkan kepada susuhunan jika Amangkurat II memutuskan hubungan dengan Belanda. Ia menuliskan surat dengan bahasa yang santun dan rendah hati tetap menganggap Amangkurat II sebagai Susuhunan dan menyebut dirinya sebagai abdinya. Trunojoyo berpendapat tidak adil, jika bangsa asing seperti Belanda ikut menentukan jalannya pemerintahan di Kerajaan Mataram. Trunojoyo tidak suka terhadap Susuhunan Amangkurat II selama Mataram tetap bersekutu dengan Belanda.
Sebuah perlawanan yang memiliki semangat kebangsaan untuk menyelamatkan rakyat dari bangsa penindas (kolonial Belanda). Perjuangan suci yang patut diapresiasi sebagai pahlawan yang memperjuangkan keadilan dan kejujuran. Perjuangan untuk menaklukkan bangsa asing yang menjajah nusantara. Trunojoyo tidak suka susuhunan bekerja sama dengan kompeni, karena penguasa sebelumnya Sultan Agung tidak mau bersekutu dengan kompeni. Sikap ksatria yang membela rakyat dari penindasan bangsa asing. Trunojoyo bukan tidak suka kepada penguasa Mataram tetapi tidak setuju dengan kebijakannya tidak berpihak kepada rakyat.
Penghargaan Terhadap Trunojoyo
Penghargaan terhadap Trunojoyo oleh rakyat yang mengagumi dan mencintai namanya dijadikan nama jalan di beberapa kota di Madura. Diabadikan dalam Lagu Keroncong berjudul “ Pahlawan Trunodjojo” ciptaan Abd. Mubin – Anggota Kerontjong – Orkest “Terunadjaja” Sampang sebagai mana tertulis dalam larik berikut:
/ Masa dulu konon termasyhur pahlawan Madura/ Berjuang membela keadilan Nusantara/Trunojoyo luhur budinya sebagai pahlawan/ Pebabaran Sampang tempat beliau dilahirkan/ Tujuannya membasmi penindas di Indonesia/Pantang surut menentang penghianat bangsa/ Trunodjojo gugur, karena muslihat bangsanya/ Tetapi jasanya tetap besar selamanya.
Syair lagu yang heroik menempatkan Trunojoyo sebagai pahlawan karena ingin tegaknya keadilan dan lenyapnya penindasan oleh kaum penjajah, tak surut melawan para pengkhianat bangsa yang bersikap tidak adil terhadap rakyatnya. Sebuah perjuangan yang sangat berisiko ketika penguasa yang lalim menggunakan kekuasaannya untuk menindas rakyatnya. Perjuangan yang akhirnya dikhianati oleh bangsanya sendiri. Trunojoyo dibunuh dengan cara keji dan tak berperikemanusiaan. Namun harum namanya tidak akan hilang di hati rakyatnya. Di jantung hati pengagumnya.
Dalam sebuah gending Kinanti menjelaskan tentang Trunojoyo sebagai berikut:
Kotta Sampang babarêpon/ Pahlawan ponjul melagin/ Sang Trunadjaja asmana/ Gumatê sê ambilladin /Seppê tadâ’ pangambrina,/ngemmong Indonesia adi/
Parjughâ dâddhi conto, / Pahlawan sê moktêsarê,/ Onggul perrang dâ’ tandingnga,/Landep pêlak junjunnagin, /Balânan kompenê Blanda, /Etompes pon tadã’ karê //
(Sampang kota kelahirannya/ pahlawan unggul menakjubkan/ Sang Trunojoyo namanya/ bersungguh-sungguh membela/ Tanpa berharap keuntungan bagi dirinya/ Hanya untuk memelihara nama baik Indonesia/
Sangat patut dijadikan teladan bagi kita/ unggul di dalam peperangan, sukar dicari taranya/ cerdik pandai dan jujur/ Balatentara kompeni Belanda,/ dihancur-leburkan tak seorang pun yang tersisa//
Mereka melihat jasa besar Trunojoyo dalam menanamkan cinta terhadap bangsa dan tanah airnya. Mencintai rakyat kecil yang diayomi. Maka tidak berlebihan jika seluruh tindak tanduknya dijadikan cermin dan teladan bagi rakyat yang dicintainya. Di tengah gamangnya sosok pemimpin saat ini, Trunojoyo merupakan sosok yang pantas diteladani. Sosok yang rela dihukum susuhunan di Mataram karena membela rakyat dan bangsanya yang tertindas.
Relevansi Spirit Trunojoyo
Rival Taufani salah seorang musisi muda progresif menerjemahkan tragedi pembunuhan Trunojoyo dengan membuat sebuah komposisi suara melalui live coding pada perangkat lunak Sonic Pi yang merespon sepenggal narasi dalam Babad Trunojoyo. Sementara kolaboratornya, Erwin Oktaviyan, lulusan DKV Stikom Surabaya, mencoba menafsirkan ulang komposisi suara tersebut ke dalam sebuah montase visual yang bersifat impromptu. Komposisi coding yang melahirkan tafsir suara dari sebuah narasi. Sebuah tandingan teks dari musisi muda saat ini atas narasi kekejian yang menyedihkan. Komposisi ini ditampilkan dalam sebuah Pameran Ekshibisi di Cemeti Institut dalam Nêmor: Shoutheast Monson (Agustus, 2019)
Respon perupa Suvi Wahyudianto terhadap narasi teks pembunuhan Trunojoyo menghasilkan sebuah respon dari pengalaman traumatis yang akan menjadi untaian tragedi menyedihkan dan memosisikan Trunojoyo (Madura) sebagai objek. Suvi mencoba membalik tatapan jika selama ini Trunojoyo sebagai objek, Suvi memosisikan diri sebagai subjek yang menatap. Respon dalam sebuah visualisasi undakan berwarna hitam terbuat dari papan dan di undakan tersebut tergeletak tusukan daging yang terbuat dari resin.
Ika Arista perempuan empu pembuat keris di desa Aeng Tongtong Sumenep melihat celah pada teks narasi pembunuhan Trunojoyo, yang dijebak dan tidak sempat melakukan pembelaan di hadapan raja Amangkurat II. Ika mencipta sebuah keris yang diberi nama “Pêtodu” untuk diberikan kepada Trunojoyo untuk melakukan perlawanan. Sebuah fiksi yang mengandaikan Trunojoyo diberi kesempatan melawan dengan menggunakan senjata keris “Pêtodu” diyakini akan mampu menundukkan kekejian Amangkurat II.
Di tatapan Royyan Julian kematian Trunojoyo tak diduga kalau kehadirannya di Sitihinggil firasat buruk akan kematiannya. Maut yang tiba-tiba datang tanpa isyarat, ketika sang susuhunan menabuh genderang perang pada Trunojoyo yang telah dilucuti senjatanya. Tanggal 2 Januari di bulan masehi takdir itu jatuh melukai tubuh. Dalam puisinya yang berjudul “ Kematian Trunojoyo”, berikut ini:
Ia tak tahu /Sitihinggil menunggunya/dengan netra nyalang//Ia hanya gemar/menengok masa silam/yang mengekalkan kesedihan//Di mahligai itu/ firasat menjerit/ dan nasib berganti kulit// Tetapi maut tak pernah/berdiri telanjang di hadapannya// Ia cuma melihat/bendera berkibar di atas sotoh/ dan genderang jatuh/ di kaki musuh//Pada janji yang ditegakkan/ pucuk balabar menghunus azam/dan 2 Januari yang marun/berderai dari punggungnya/ yang berliang// Di angkasa yang masygul/ pekik empat puluh gagak/ mengoyak mimpi-mimpinya//2020
Perspektif yang berbeda dari dua generasi yang berbeda masa , sebuah tatapan generasi muda dengan tatapan egaliter saling memandang dan menempatkan posisi sepadan, saling melihat, saling menatap. Maka Trunojoyo bisa dipandang sebagai pahlawan sementara di tatapan seberang sebagai pembangkang. Dua tatapan yang saling berjajar memberikan pilihan untuk memahami dan membangun empati.
Sebuah tatapan yang memandang nilai-nilai keadilan dan menempatkan sebagai nilai kemanusiaan yang berharga. Kebanggaan terhadap kemampuan bangsa sendiri, sehingga tidak rela urusan bangsanya ada keterlibatan bangsa asing yang mengendalikan. Keberanian menempatkan diri setara dengan bangsa lain. Di tengah gerusan budaya asing, pengaruh luar sepantasnya kalau mereaktualisasi spirit Trunojoyo untuk percaya diri di hadapan bangsa lain.