Uraian tersebut di atas semakin memperjelas pandangan orang Madura bahwa setiap bentuk gangguan terhadap istri merupakan pelecehan terhadap harga diri yang menimbulkan perasaan malo terutama pada pihak suami, keluarga dan pada lingkungan sosial. Perasaan malo suami muncul karena peran dan fungsinya melindungi istri dianggap gagal. Bagi pihak keluarga perempuan, perasaan malo berkaitan dengan kegagalan melindungi anak perempuannya.
Sedangkan bagi pihak keluarga laki-laki berkaitan dengan kegagalan dalam memilih menantu yang baik. Tindakan mengganggu kehormatan istri secara sosial dinilai sebagai arosak atoran (merusak tatanan sosial), sehingga anggota masyarakat yang lain, setidaknya dalam lingkup komunitas kampong (kampung), akan merasakan hal yang sama. Oleh karenanya dapatlah dipahami jika mereka mendukung ketika terjadi carok.
Jika terjadi permasalahan berupa gangguan terhadap istri, ada dua alternatif untuk diambil sebagai suatu keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Pertama, membunuh laki-laki yang telah mengganggu itu. Kedua, membunuh keduanya, yaitu laki-laki yang mengganggu sekaligus dengan istrinya sendiri. Alternatif pertama ditempuh jika tindakan laki-laki pengganggu istrinya hanya merupakan tindakan sepihak. Akan tetapi, jika keduanya telah diyakini menjalin hubungan cinta, apalagi jika sang suami mengetahui atau menyaksikan langsung adanya persetubuhan keduanya, maka alternatif kedualah yang diambil.