Akan tetapi, dalam kenyataannya bukan hanya gangguan terhadap kehormatan istri yang dapat mengusik harga diri orang Madura, sehingga menimbulkan carok. Setiap bentuk tindakan yang dapat menimbulkan perasaan malo selalu berakhir dengan carok (Latief Wiyata, 2002: 175-176). Keberhasilan pelaku carok dalam membunuh musuhnya selalu menimbulkan perasaan puas dan lega. Bahkan tidak jarang justru dapat menimbulkan pula perasaan bangga (Latief Wiyata, 2002: 178). Salah satu manifestasi kebanggaan tersebut adalah clurit. Clurit adalah media untuk mentransfer kebanggaan kepada anak cucu karena menjadi simbol keturunan orang jago (Latief Wiyata, 2002: 214-215).
Perasaan puas dan lega (bahkan juga bangga) tidak saja dialami oleh pelaku carok yang dapat membunuh musuhnya, melainkan dialami juga oleh pelaku carok yang belum berhasil membunuh musuhnya, tetapi dapat menciderainya sehingga menderita luka parah. Tidak akan merasa puas jika hanya dapat menciderai musuhnya dengan luka ringan. Oleh karena itu, orang Madura pada umumnya tidak akan menyebut tindakan kekerasan semacam ini (yang hanya menyebabkan luka ringan) sebagai carok, melainkan sebagai perkelahian biasa (atokar). Dalam konteks ini, bagi orang Madura carok nampaknya lebih ditentukan oleh hasil akhir daripada niat atau tujuan awalnya. Dengan demikian, tidak semua tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang Madura dapat diartikan sebagai carok, sebagaimana anggapan orang di luar kebudayaan Madura (Latief Wiyata, 2002: 180-181).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa carok merupakan suatu tindakan atau upaya pembunuhan (karena terkadang berupa penganiyaan berat) menggunakan senjata tajam—pada umumnya clurit—yang dilakukan oleh kaum pria (tidak pernah perempuan) terhadap pria lain, yang dianggap telah melakukan pelecehan terhadap harga diri (baik secara individu sebagai suami maupun secara kolektif yang mencakup kerabat atau keluarga), terutama berkaitan dengan masalah kehormatan istri sehingga membuat malo.
Tindakan atau upaya pembunuhan untuk menebus perasaan malo ini selain mendapat dorongan juga selalu mendapat dukungan dan persetujuan sosial. Selain itu, carok merupakan media kultural bagi pelaku yang berhasil mengalahkan musuhnya untuk memperoleh predikat sebagai oreng jago atau jika pelaku carok telah berpengalaman membunuh maka predikat sebagai oreng jago menjadi semakin tegas, sehingga keberhasilan dalam carok selalu mendatangkan perasaan puas, lega dan bahkan bangga bagi pelakunya.