Oleh Kadarisman Sastrodiwirjo
Nilai-nilai sosial sebuah budaya, menurut Latif Wiyata bersifat lokal dan kontekstual sesuai dengan kondisi dan karakteristik masyarakat pendukungnya. Sejalan dengan ini, seharusnya Budaya Madura mencerminkan karakteristik masyarakat yang religius, yang berkeadaban dan sederetan watak positip lainnya. Akan tetapi keluhuran nilai budaya tersebut pada sebagian Orang Madura tidak mengejawantah karena muncul sikap-sikap yang oleh orang lain dirasa tidak menyenangkan, seperti sikap serba sangar, mudah menggunakan senjata dalam menyelesaikan masalah, pendendam dan tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan (Giring, 2004). Akibatnya, timbul citra negatif tentang orang Madura dan budayanya.
Orang yang tidak pernah ke Madura, memiliki gambaran yang kelam tentang Orang Madura. Rata-rata pejabat yang dipindah tugas ke Madura, berangkat dengan diliputi penuh rasa was-was, karena benak mereka dihantui citra Orang Madura yang serba tidak bersahabat. Akan tetapi kemudian setelah berada di Madura, ternyata hampir semuanya berubah 180 derajat pandangannya tentang Orang Madura. Mereka dengan penuh ketulusan mengatakan bahwa Orang Madura ternyata santun, ramah, akrab dan hangat menerima tamu.
Citra negatif ini pula yang kemudian melahirkan sikap pada sebagian Orang Madura, utamanya kaum terpelajar, merasa malu menunjukkan diri sebagai Orang Madura, karena Madura identik dengan keterbelakangan atau kekasaran Keadaan ini harus diakhiri. Perlu dilakukan upaya untuk menunjukkan bahwa Orang Madura dan budayanya tidak sejelek yang diduga orang lain.
Upaya pertama adalah membangun citra positif. Membangun citra ini dimulai dengan menonjolkan hal-hal yang positif dari Budaya Madura. Untuk itu perlu dilakukan inventarisasi yang cermat nilai-nilai sosial budaya yang positif atau sering diistilahkan dengan nilai-nilai luhur. Nilai-nilai tersebut bisa kita temukan dalam pelbagai parebhasan, saloka, bangsalan atau paparegan yang banyak memuat bhabhurughan becce’.