Oleh : Abdur Rozaki
Konflik dan kekerasan dalam tujuh tahun terakhir ini di Indonesia telah meluluh lantahkan banyak hal, ikatan kekerabatan, persaudaraan dan solidaritas social. Belum lagi ribuan nyawa yang melayang sia-sia, harta benda yang terjarah dan hangus terbakar, kukut sirnah meninggalkan pemiliknya. Tidak sedikit diantara mereka yang menjadi korban utamanya, dengan perasaan luka hati yang perih meratapi nasibnya. Duka lara, dan mungkin perasaan dendam berkecamuk dan sepertinya tak tau lagi kemana harus mencari obat penyembuhnya.
Negara yang seharusnya menjadi pelindung dan pengobat dari rasa luka dan duka itu justru tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan tidak sedikit yang mensinyalir negara ikut bermain api dalam operasi konflik dan kekerasan atas masyarakat.
Lihat saja peristiwa di Ambon, hanya karena terjadi percekcokan kecil antara penumpang dengan kondektur bus, api konflik berkobar dan meluas menjadi konflik horizontal dan memakan waktu hampir empat tahun lebih untuk memadamkannya. Itu pun belum tuntas betul, sebab terkadang percikan api kecil dapat muncul dan sewaktu-waktu dapat saja kobarannya membesar. Begitu pula dengan peristiwa yang terjadi di Sambas Pontianak, percekcokan antar anak muda keturunan etnis Madura dengan Dayak di acara pagelaran musik dangdut mencuat membentuk lingkaran api kekerasan horizontal.
Menanggapi berbagai konflik dan kekerasan yang mengorbankan masyarakat itu, seorang artis yang baru saja menyelesaikan studi S2 nya di UI, yakni Rieke Diah Pietaloka mengatakan, kekerasan yang selama ini dilakukan oleh negara itu, kini telah menular ke masyarakat. Praktek otoritarian, seperti tindakan represif, mengadili orang tanpa bukti, memeras hak-hak ekonomi dan politik rakyat dan sejenisnya menciptakan transfer bentuk otoritarian itu ke dalam sikap dan tindakan masyarakat. Praktek kekerasan dan intoleran negara ‘diteladani’ dengan sarkasme pula oleh masyarakat.