Realitas kedua yang tengah melanda dan mengancam nilai-nilai luhur budaya Madura adalah transfer budaya visual. Transfer budaya visual yang dimaksud ialah tayangan televisi dan media cetak.
Semenjak era reformasi, dunia pertelevisian dan media cetak mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Luar biasa dalam arti jumlah dan jenisnya. Perijinan penerbitan yang semakin mudah dan kebebasan pers, telah menumbuhsuburkan kedua jenis industri ini. Namun seperti halnya TI, media visual (Televisi dan Media cetak) juga terjebak dalam pornografi dan kekerasan. Meski kadar pornografinya tidak separah TI, namun bila ditinjau pada efek perilaku masyarakat maka pengaruh tayangan televisi dam media cetak lebih luas dan menimbulkan sikap permisif bahkan perilaku imitatif pemirsanya.
Mencermati tayangan-tayangan televisi, terasa sekali pihak pengelola televisi (manapun) bersikap mendua alias munafik. Perhatikan saja bagaimana media elektronik yang di pagi hari penuh dengan acara siraman rohani dan menawarkan nilai agama, beberapa jam kemudian menjadi ajang efektif bagi penawaran gaya hidup hedonistis yang kadang berlawanan dengan nilai-nilai Agama. Bahkan di beberapa stasiun televisi pada jam 22.00 keatas, menampilkan tayangan yang mengumbar syahwat baik berupa musik yang mengusung artis-artis pendukung pornoaksi maupun berupa sinetron/film yang bagi orang waras agamanya jelas merupakan tayangan porno.
Adapun media cetak lebih seru lagi. Cukup bermodalkan uang sekitar Rp. 5.000,- kita semua (termasuk remaja-remaja di bawah umur) dengan sangat mudahnya dapat membeli Koran/tabloid/majalah yang mengumbar aurat wanita. Dengan dalih seni, kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers para pelaku bisnis ini jelas sudah mengabaikan nilai-nilai agama dan budaya demi keuntungan peribadi/perusahaan.