Sebagaimana ritual Cahe yang dilakukan oleh masyarakat Saronggi Sumenep, ritual berloberan juga menjadi bagian tradisi masyarakat Saronggi yang kerap dilakukan pada saat kemarau panjang.
Ritual Berloberan yang kali ini dilaksanakan di Desa Langsar Kecamatan Saronggi Sumenep itu, pada prinsipnya memohon kepada Yang Maha Kuasa agar pada iklim seperti ini diturunkan hujan, mengingat wilayah yang cukup gersang mendapat rezeki dari tanah pertanian mereka.
Kata berloberan sendiri berasal kata lober yang punya arti usai, selesai atau akhir. Jadi makna berloberen mempunyai pengertian yang paling akhir (dari musim kemarau), sehingga para petani tegalan di wilayah mereka dapat melanjutkan usaha taninya dengan menanam jagung, ketela pohon, atau apa saja yang sekiranya dapat menyanmbung kehidupan mereka. Selain utu, desa Langsung termasuk wilayah penghasil kebun buah srikaya yang cukup populer di wilayah Sumenep.
Ritual berloberen ini semata-mata untuk permohonan meminta hujan, dengan cara dan adat mereka. Mengingat ritual ini berlangsung demikian lama, dan menjadi tradisi turun temurun dari nenek moyang mereka, ritual dipatikan dilaksanakan bilamana musim tidak juga menurunkan hujan.
Prose Ritual Berloberen
Tepat tengah hari, hampir seluruh masyarakat Langsar berbondong-bondong menuju suatu gua bernama Mandalia. Mereka berkumpul seraya membawa sesajen, serta makanan dan buah-buahan yang dipetik dari desa mereka, dan mereka membawa masuk dan diletakkan di goa.
Ditempat lain, tepatnya dihalaman luar goa dilangsungkan suatu pertunjukan yaitu tarian Cehe yang diperagakan sejumlah pemain laki-laki, dengan gerak-gerak ritmis serta diiringi musik tradisi mereka. Tarian yang mengandung unsur mistis ini sebagai pengantar agar harapan yang disampaikan lewat sesaji itu, dapat diterima oleh Yang Maha Kuasa. Meski demikian, disekitar tempat sama, sejumlah warga sedang mengaji sekaligus memanjatkan doa yang dipimpin oleh tokoh setempat.
Berloberen bagi masyarakat setempat tak ubahnya seperti perta rakyat atau seperti suasana pada hari lebaran. Mereka berkumpul di goa tersebut untuk menjalin tali silaturrami sekaligus bersama-sama memanjatkan doa, agar tanah tegalannya mendapatkan hasil tani yang baik, juga diharapkan agar hasil taninya menjadi berkah bagi kehidupan mereka, maupun kemaslahan masyarakat.
Ritual berloberen tampaknya bukan semata-mata sekdar berharap mendatangkan hujan, tapi jauh lebih dari itu, bagaimana usaha masyarakat setempat makin meyakini dan menebalkan iman serta berserah diri kepada Sang Pencipta. Untuk itu sebagaimana bawaan para warga membawa berbagai hasil tani, merupakan simbol keberadaan masyarakat Langsar yang secara terun temurun mengandalkan hasil pertanian mereka.
Mereka “membagikan” hasil tani kepada roh-roh nenenek moyang mereka yang ada dalam goa, sebab dalam goa tersebut terdapat sejumlah kuburan yang diyakini sebagai tempat kuburan nenek moyangnya.
Konon salah satu “penghuni” kuburan di goa tersebut, adalah pencetus atau pencipta ritual berloberan, sehingga generasinya berkewajiban melanjutkan keinginan generasi sebelumnya, yang kemudian secara berkala masyarakat Langsar melakukan ritual berloberen, setiap tahun dua kali peristiwa.
Selkain itu, didalam goa tersebut terdapat sumber yang diyakini bahwa air terbut mengandung mukjizat, yaitu bilana air tersebut disiramkan ketanah tegalan, maka tanah tersebut akan menjadi subur dan menghasilkan tani yang melimpah..Untuk itu, ritual ini dinamai berloberen, sebab ketika memasuki musim hujan, saat itulah air goa Mandalia disiramkan sebelum menanam. Dengan kata lain menanam (pada musim hujan) setelah lober (musim kemarau)
Tradisi yang masih utuh dan dirawat dari generasi ke generasi masyarakat Langsar ini, memang merupakan tradisi ritual yang patut dipertahankan sebagai peristiwa budaya. Sebab pemahaman yang mereka yakini, berloberen ini merupakan bentuk lain ungkapan puji syukur ke hadirat Yang Kuasa, bahwa apa yang mereka dapatkan tidak terlepas dari kekuasaanNya. (Syaf/Lontar Madura)
Banyak nan kaya nih budaya kita, dan masih banyak lagi yang ada.