Oleh: A. Hamzah Fansuri B *)
Rokad Pandhâbâ, sebagaimana ruwatan murwakala di Jawa, merupakan tradisi ritual di Madura yang bermula dari kepercayaan masyarakat atas ancaman marabahaya sang Bethara Kala terhadap keselamatan seorang anak. Dikisahkan bahwa sang Bethara Kala, anak dari Bethara Guru, telah lahir di tengah lautan dengan tubuh tinggi-besar. Selain itu, dia juga memiliki nafsu makan yang sangat besar. Dewa-dewa pun merasa khawatir seluruh jagad akan habis dimakannya. Sehingga ia diperintahkan untuk berkelana mencari bunyi-bunyian yang indah. Selama pengembaraan, kebiasaan makannya yang berlebihan juga dibatasi. Ia hanya diperbolehkan memakan makhluk-makhluk tertentu, di antaranya: anak tunggal (ontang-anting), anak kembar (uger-uger dan dampit), anak lelaki yang berkakak dan beradik perempuan, anak perempuan yang berkakak dan beradik laki-laki (pancuran kapit sendang), dan seterusnya.
Seorang yang ingin melaksanakan ritual rokadhân (ruwatan) untuk anaknya tersebut, biasanya akan menggelar berbagai macam jenis kesenian tradisi sebagaimana upacara-upacara ritual yang lain, seperti petik laut, helat desa, pesta panen, pesta perkawinan, dan sebagainya. Kesenian-kesenian yang biasa digelar di antaranya mamaca (macapat), tanda (tayub), loddrok (ludruk), ketoprak, topèng dhâlâng (topeng dalang), dan kesenian lainnya yang mengandung unsur bunyi-bunyian.
***
Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, modernisme menjadi tuntutan dalam menghadapi era globalisasi. Pendidikan dan keilmuan sangat dijunjung tinggi, sementara Islam sebagai agama masyarakat Madura, kini lebih berorientasi syariah—tidak seperti yang dilakukan Wali Sanga di awal penyebarannya dengan orientasi kesenian dan tradisi. Tradisi-tradisi ritual pun mulai ditinggalkan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, tak terkecuali rokadhân. Mereka menilai ritual-ritual itu hanya akan membawa pelakunya pada perbuatan musyrik. Akibatnya, hari ini sangat sulit menjumpai berbagai jenis kesenian yang biasa menyemarakkan tradisi ritual tersebut.
Pertunjukan menggunakan 4 tahapan plot untuk memilah pengadeganannya, yakni 1) pelukisan (protasis), 2) konflik (complication), 3) resolusi, dan 4) penutup (ending). Protasis dibuka dengan tarian dan permainan anak-anak. Konflik ditandai dengan masuknya Bethara Kala yang ingin memangsa si anak ontang-anting yang sedang bermain. Dalam perburuan, terdapat beberapa jalinan peristiwa yang menjadi hambatan Bethara Kala untuk mendapatkan si anak, di antaranya pohon labu, seropong (ruas bambu yang digunakan untuk meniup tungku), tong-antong (kayu siku segitiga untuk atap rumah). Sementara resolusi dilukiskan dengan adegan yang mempertemukan si anak ontang-anting dengan seorang kakek—yang saat itu sedang mamaca di antara para niyaga—yang biasa bertindak sebagai pemimpin ritual (saman). Lantas ditutup dengan adegan yang menggambarkan prosesi upacara rokâd pandhâbâ, dilanjutkan dengan diaraknya si anak ontang-anting menjadi mantan toddhu sebagai ending-nya.