Menyaksikan pertunjukan tersebut, masyarakat Madura seperti diajak untuk menjenguk rumahnya sendiri yang telah lama tidak dihuni, lantas me-review nilai-nilai kearifan lokal (local genius) yang terkandung di dalamnya. Di adegan pertama misalnya, anak ontang-anting (termasuk juga uger-uger dan dampit, pancuran kapit sendang), sesungguhnya merupakan sebuah simbol “anak kesayangan” untuk mengungkapkan filosofi kasih sayang. Kasih sayang harus diberikan secara proporsional kepada anak, meskipun dia anak tunggal yang sangat dikasihi. Memanjakan seorang anak, bahkan di antara kedua saudaranya, tentu tidak baik bagi perkembangan psikologis anak tersebut, juga saudara-saudaranya. Rokadhân mencoba mengingatkan para orang tua, tentang pendidikan anak –“ontang-anting”.
Ajaran falsafah—sebagai local genius—dalam bahasa tutur orang tua Madura yang lain dapat ditunjukkan dalam adegan berikutnya. Kalimat abhesto (Madura, berarti melaknat) yang dilontarkan Bethara Kala saat menemui hambatan “siapa saja yang menanam labu sembarangan, menaruh seropong sembarangan, dan rumah yang tanpa tong-antong, maka darahnya setetes pun, rejekinya satu sen pun, akan menjadi makanan saya!” Mengingatkan ucapan-ucapan orang tua dulu, seperti kalimat “jangan tidur di depan pintu, nanti dijauhi rejeki!” atau “jangan bertopang dagu, nanti miskin! Doktrin yang irasional. Tidur di depan pintu dan bertopang dagu, tidak ada hubungan dengan rejeki dan kemiskinan. Tetapi kalimat tersebut sebenarnya dimaksudkan supaya kita tidak menghalang-halangi orang (tamu) yang lewat, sebab orang lain adalah sumber rejeki kita. Bertopang dagu sebenarnya dimaksudkan untuk tidak bermalas-malasan, sebab rejeki harus dicari.
Demikian pula dengan tumbuhan labu, seropong, dan tong-antong. Labu adalah tumbuhan yang merambat, dengan maksud supaya kita (orang tempoe doloe) tak menanam labu di sembarang tempat, sebab batangnya yang menjalar itu bisa mengganggu jalanan (jalan setapak). Seropong juga demikian. Benda itu dapat membuat orang terpeleset dan terjatuh. Sedang tong-antong untuk rumah, di samping sebagai kekuatan penyanggah atap, juga untuk melindungi penghuni dari terjangan angin dan hujan. Jadi, ungkapan-ungkapan tersebut maksudnya sangat fungsional dan aplikatif untuk menunjukkan suatu keadaan kausalitas.
Selanjutnya, sesajian berupa makanan, uang dan kembang yang disyaratkan dalam upacara rokadhân sesungguhnya pendidikan moral–sosial. Hal tersebut merupakan suatu simbol kemakmuran bagi masyarakat tradisional atas melimpahnya rejeki. Maka, melalui upacara tradisi ini sesungguhnya mereka ingin mengingatkan bahwa saling berbagi rejeki antar sesama jauh lebih bernilai daripada mendidik anak dengan kemanjaan rejeki yang berlimpah. Kehidupan sosial yang harmonis tidak dibentuk dengan sifat individualistik tetapi dengan kepedulian antar sesama.
***
Kebersamaan dalam kehidupan masyarakat di atas, dalam pertunjukan ini diperkuat dengan mantan toddhu sebagai ending-nya. Sebuah acara tradisi yang sudah langka, sungguh! Sebuah tontonan arak-arakan yang syarat kekerabatan dan kesetaraan dilakukan oleh masyarakat Madura dahulu. Perhelatan ini dilakukan oleh keluarga yang tidak mempunyai anak, tetapi ia ingin menghelat pesta pengantin. Maka mereka meminjam seorang anak dari putra-putri tetangga atau kerabatnya untuk dijadikan pengantin. Orang tua dari anak terpilih itu pun tanpa keberatan mempersilahkan anaknya untuk dijadikan pengantin dalam mantan toddhu.
Tetapi mereka tak pernah menyampaikan nilai-nilai falsafah itu secara terbuka. Sementara masyarakat yang telah terlanjur menjunjung tinggi nilai pendidikan sudah terlampau jauh memaknai kesederhanan masyarakat tradisional dengan teori-teori keilmuan dan filsafat modernnya. Prosesi pertunjukan Rokad Pandhâbâ, telah mengajak masyarakat untuk mereview falsafah—kearifan lokal—yang tak sempat terjelaskan oleh pendahulu mereka sebelumnya