Masyarakat Masalembu termasuk masyarakat yang agamis. Derap nilai keagamaan selalu ada di setiap sisi kehidupan. Maka, tidak lepas dari nilai agama, juga pelaksanaan upacara rokat, terselip nilai-nilai syar’i. Tidak ada sedikitpun adanya nuansa syirik, sehingga kita tidak perlu berdebat tentang keabsahan rokat secara agama.
Melarung sesajen di laut lepas juga tidak ada kaitannya dengan syirik. Setidaknya ada niat untuk memberi makan raja ikan (Rajamena), yang dalam hal ini adalah ikan-ikan yang biasa kita tangkap dan konsumsi. Memberi makan kepada ikan sama sekali tidak ada kaitannya dengan perbuatan yang bertentangan dengan agama. Apa lagi, saat pelarungan diiringi dengan kalimat, “Laailaaha illallaah, Muhammadur Rasulullah.”
Agama di dalam tata laksana adat adalah sebuah kewajaran, daripada adat yang dipaksakan masuk ke dalam suatu agama. Meski keduanya masih debatible (terdapat perbedaan pendapat) setidaknya dalam pelaksanaan rokat di Masalembu nuansa agama telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
Demikianlah sekilas adat budaya yang terjadi di Masalembu, khususnya budaya rokat. Harapan dari kita semua, bahwa budaya ini jangan sampai hilang begitu saja karena berkembangnya suatu masa. Kita harus berusaha melestarikan budaya ini agar generasi kita, anak cucu, dan orang-orang setelah kita masih dapat menyaksikan indahnya pelaksanaan rokat.
Tidak menutup kemungkinan, bahwa ada di antara kita yang apatis bahkan cenderung anarkhis terhadap pelaksanaan rokat ini. Namun jika kita mampu menunjukkan sisi religi dan nilai-nilai budi yang ada di dalamnya, maka Upacara ini akan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Melestarikan suatu budaya adalah suatu kewajiban, sebagaimana kita hidup juga wajib bersikap dan bernilai budaya. Budi daya kita adalah etika yang tidak boleh lepas dari hati kita masing-masing. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin!
Masalembu, 08 03 2018
***
Tulisan bersambung: